Langsung ke konten utama

Bro (Travel)Mate


Salah satu ‘partner in crime’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama.

Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya.

Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini.



Here we go…

Umur lima tahun aku minta adik laki-laki, tapi Bapak Ibu memberiku adik perempuan yang cantik. Sampai akhirnya datang tawaran untuk ikut tinggal di rumah seorang kawan untuk memperpendek jarak ke tempat kerja (magang) yang membuatku merasa memiliki keluarga baru and i feel like ‘yeay! I got a brother!’.
*
Grrrenggg...grrrenggg...”, deru motor ku pacu sekuat tenaga untuk melewati tanjakan ini.
Motornya nggak kuat nih, bro”, teriakku dari belakang kemudi.
Yap!”, dia yang duduk membonceng di belakangku melompat turun dari motor. Motor pun melaju lebih kencang karena beban penumpang berkurang, meninggalkan dia di belakang.
*
Pukul empat pagi dini hari.
Kami menyusuri jalanan pegunungan yang berliku dan banyak tanjakan. Hawa dingin menghembus raga seirama dengan perputaran roda motor kami yang melesat. Kami ingin melihat momen matahari terbit dari puncak Penanjakan Bromo yang tersohor itu.

Aduh, jalannya nanjak mulu nih”, aku mulai gelisah ketika suara motor kami meraung-raung setiap melintas di tanjakan.
Makanya, lo diet dong! Jadi kalo gue boncengin nggak berat belakang dan susah naik tanjakan begini”, lanjutku melayangkan protes terbuka padanya.
Dih, elo kali yang salah ganti gigi sebelum naik tanjakan”, dia balik menyalahkanku.
Ini motornya matic, woy! Nggak mau tahu, ya. Pokoknya kalo nggak kuat nanjak, lo turun ye...”, sahutku kemudian.
*
Aku menepikan motorku begitu sampai di tempat lebih landai. Sejenak aku menoleh ke belakang. Gelap. Tak ada penerangan yang memadai, hanya lampu-lampu motor pengendara lain yang melaju melewatiku memberi sedikit penerangan. Aku gusar menunggunya. Lumayan jauh juga aku meninggalkannya. Semoga dia tidak nekad jalan ke pinggir jurang. Beberapa detik kemudian aku dapat melihat dia di keremangan, berjalan perlahan menapaki tanjakan menyusul ke arahku.
Hah...lo benar-benar harus diet, bro!”.
*
Liburan kali ini merupakan momentum penyegaran bagi kami setelah tiga bulan belakangan kami menghabiskan hari-hari kerja sampai lembur di perusahaan swasta tempat kami magang. Kontrak kerja kami telah usai sekarang.

Woo... Hoo...

Kami berteriak kencang dari atas motor. Aku melonggarkan tarikan stang gas dan kubiarkan motor melaju perlahan di jalanan menurun.

Mengarungi jalanan landai, berkelok, menurun dengan pemandangan hamparan hijau persawahan di sisi kanan kiri jalan dalam suasana terik matahari ditingkahi hembusan angin sepoi-sepoi. Apa yang kamu rasakan bila membayangkan hal tersebut? Ya, bahkan sambil menulis ini pun aku jadi mengantuk. Hoam... Dari balik kemudi aku paksakan diri membuka mata menjaga kesadaranku. Aku diam sepanjang jalan berusaha fokus mengemudikan motor.

Eh, main game yuk!”, serunya tiba-tiba.
Hah? Game apaan?”, ngajak berantem nih, masa lagi nyetirin motor diajakin main game. Kalau nyungsep gimana?
Kalau jalanan landai menurun, panjang dan lama, kita teriak sama-sama. Biar nggak ngantuk”, jelasnya singkat. Hm, ide bagus.
OK!”, balasku penuh semangat.

Sewaktu kecil memang aku sering melakukan hal serupa saat pergi bersama Bapak naik motor di daerah pegunungan. Aku pasti bakal duduk membonceng di depan Bapak yang mengemudikan motor. Ketika jalanan di depan kami terlihat menurun, maka Bapak akan mematikan mesin dan membiarkan motor kami meluncur begitu saja meski tetap dalam kendalinya. Tugasku menikmati seluncuran ini sambil teriak ‘Woo...Hoo...’.

Dan hari ini aku melakukannya lagi dengan mitra jalan-jalanku. Istimewa berbalut nostalgia. Dia memang pandai mencipta suasana  keseruan perjalanan di saat kami mulai kelelahan.
*
Lampu lalu lintas menyala merah saat aku memasuki sebuah persimpangan jalan. Aku menghentikan motor tepat di belakang garis marka jalan berwarna putih itu. Hey, lihatlah diriku. Keluyuran di jalanan mentang-mentang masih berstatus pengangguran. Tidak seperti dia yang sudah memperoleh kontrak kerja baru lagi begitu kembali ke Jakarta usai liburan kami.

Ah, tak mengapa. Mungkin Tuhan memberiku waktu lebih panjang untuk berlibur. Oh iya, besok kami akan terbang ke Makassar untuk kemudian melanjutkan perjalanan darat menuju Tana Toraja. Kami akan berakhir pekan di sana. Salah satu tempat yang masuk dalam daftar destinasi wisata yang ingin kami kunjungi. Masalah pekerjaan bisa aku pikirkan nanti sepulang jalan-jalan, pikirku tenang.
Lampu menyala hijau.

Motor kembali ku pacu. Aku meluncur paling depan, berbelok ke kanan. Dua puluh detik kemudian, motor berguncang. Kurasakan getaran hebat. “Ah, bakalan jatuh nih!”, batinku ketika menyadari aku kehilangan keseimbangan dan terpelanting lepas dari motor pada detik berikutnya.

Ssrrrtt... Brukk!!!”.
*
Halo, pi. Gimana Keadaan lo?”, sapanya lewat telepon.
“Not good, tapi si tante (mamanya) ngerawat gue dengan baik kok”, jawabku. Anyway, beberapa bulan terakhir aku ikut tinggal di rumahnya karena kami magang di tempat yang sama.
Kata nyokap, lo nangis ya pas tangan lo diurut?” Sempatnya dia mencandaiku dalam situasi seperti ini.
Enggak, teriak aja gue... Sakit, woy!”, bantahku.
Aku resmi patah tulang. Humerus (tulang lengan atas) kananku patah, sekitar lima centimeter di atas siku. Tapi aku menolak dibawa ke rumah sakit. Lebih memilih ke tukang sangkal putung biar tak perlu naik ke meja operasi.

Anyway, i won’t make it tomorrow. Lo cari temen gih gantiin gue. Sayang tiketnya... Nggak apa-apa nanti bisa gue pinjemin KTP, secara tiketnya atas nama gue”, aku merasa tak enak hati bila rencana perjalanan ini dibatalkan. Dia nampak bersemangat sekali ketika kami berhasil mendapat tiket promo PP Jakarta-Makassar ini. Bahkan dia rajin riset untuk mempersiapkan itinerary. Aku pikir dia harus berangkat merealisasikannya.
Udah, gampang. Lihat ntar deh”, jawabnya sebelum menutup telepon.
*
Aku terbaring di kamar memandang langit-langit. Tak bisa banyak bergerak. Lengan kananku dibalut kain kencang dengan bilah bambu kecil penyangga untuk menjaga agar tulang yang patah tidak bergeser. Luka goresan hasil kontak fisik dengan aspal kini mulai terasa perih di sana sini.

Gimana, pi?
Tiba-tiba dia muncul di ambang pintu, menyapaku. Dia melihatku dengan tatapan berkabung -Hello...gue belum mau mati kali! Sepertinya dia menyesal tadi mencandaiku di telepon.
Ya, beginilah...”, sahutku datar.
Eh gimana? Mumpung masih ada waktu, sana buruan cari temen pengganti”, sambungku kemudian.
Yang bener aja lo? Masa gue pergi saat lo kayak gini”, ucapnya tegas.
*
Banyak hal telah kami lewati bersama. Cerita-cerita konyol yang menyandu tawa acapkali mewarnai hari-hari di mana kami menempuh perjalanan berdua. Dari keisengan kami merencanakan perjalanan sehari pulang pergi Jakarta-Penang, sampai menembus perbatasan Malaysia-Singapura melalui jalur darat. Dari perjalanan impulsif berburu lumba-lumba teluk Kiluan di akhir pekan, sampai menerima ajakan nge-trip ke dataran tinggi Dieng oleh orang (yang sebelumnya) tak dikenal melalui jejaring pertemanan.

Hampir setiap bersama dia, kami selalu membicarakan tentang perjalanan. Tak jarang kami secara impulsif memesan tiket perjalanan ke suatu tempat dari yang awalnya sekadar celetukan ngasal. Hobinya yang suka berselancar di dunia maya memudahkan riset perjalanan kami. Ketika dia menemukan banyak pilihan, aku akan memberinya pertimbangan dan abrakadabra! Jadilah itinerary perjalanan kami.

Jangan bayangkan perjalanan yang mewah ala koper gitu, ya. Prinsip kami: nikmati dan jalani –literally jalan kaki, kenyamanan dipikir nanti. Jadi deh ke mana-mana lebih memilih jalan kaki sambil gendong ransel. Walkable, begitulah istilah yang dicetuskannya -padahal mah yang bener walking distance kali. Kalau bisa ditempuh dengan berjalan kaki kenapa harus repot keluar duit? Hehe.
*
Halo, namaku Happy Wijaya. Aku lahir dan besar dalam budaya Jawa. Aku menyukai perjalanan. I could experience and learn many things! Dan perkenalkan, Sidqullisan A. Fahmi, peranakan Jawa-Minang yang lahir dan besar di tanah Sunda. Dia 'partner in crime' ku yang selalu membanggakan wajah orientalnya. Huf!

**
Dulu dia yang ku tinggal di tanjakan,
Dulu dia yang ku ejek berat badan,
Eh sekarang dia menikah duluan,
dan udah nggak masalah sih sama berat badan.
.
Selamat menempuh hidup baru, Bro!



Komentar

  1. wah,, what a bromance, broo.. gue juga punya travelmate, dia kadang nyebelin tapi lebih banyak nyenenginnya sih, dan lo tau dia siapa haha..

    anyway seoga bukunya lekas terbit ya..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha siyaaapp ya kan nobody's perfect ya, hehe

      aamiin, semoga ada jalan lain buat punya karya berupa buku.

      Bara juga, bisa tuh perjalanannya ke Timur kemarin jadi banyak konten buku/youtube mungkin :)

      Hapus
  2. Wowww.. keren banget sih nda, udah punya karya yang dibukukan. Sukses ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...