Langsung ke konten utama

Sebuah Catatan Perjalanan Random: sekitar Bukittinggi



di manakah Jam Gadang berada? | foto: dokumen pribadi


Memasuki minggu keempat gue tinggal di Padang, salah seorang kawan datang berkunjung ke Padang. Sebenarnya gue bingung. Baru juga tiga minggu di Padang, apa yang bisa gue kasih lihat ke dia yang sudah jauh-jauh datang? Referensi gue baru Suwarnadwipa Haha

Pas ngobrol ngerencanain kunjungannya itu, barulah dia bilang kalau pengen mengunjungi Bukittinggi. Itung-itung survei lokasi katanya. Minggu depan mau menemani atasan keliling Riau-Sumbar. Pas banget, gue belum pernah ke Bukittinggi.

Gue pun langsung heboh nyari rental mobil dan reservasi penginapan. Karena cukup dadakan, nyari penginapan susahnya minta ampun cuy! Gue sampai bikin daftar nama dan kontak penginapan sekitar Bukittinggi. Gue telponin lah satu-satu dan setelah seharian gue ditolakin pihak penginapan karena sudah fully booked, akhirnya gue
dapat penginapan sedapatnya. Haha, dan sialnya, harganya dinaikin berkali-kali lipat! Huf.

Tips: Kalau mau berwisata dan menginap di Bukittinggi pada akhir pekan –apalagi pas long weekend, usahakan reservasi hotel jauh-jauh hari, ya...

Iwan, datang jauh-jauh dari Medan | foto: dokumen pribadi
Kalau mengingat perjalanan kami ini, gue rasa ini trip yang absurd dan paling nggak jelas. It was like ‘hujan-hujan keliling Bukittinggi’ aja karena sepanjang perjalanan kami ditemani hujan yang turun. Dari mulai nggak bisa mampir air terjun Lembah Anai sampai kehabisan Sate Mak Syukur –padahal dari bandara tadi udah pada nahan lapar, dalam perjalanan menuju Bukittinggi. Gue malah nggak enak sama kawan pendatang. Sewaktu ke Puncak Lawang pun hujan dan kabut tebal menutupi pemandangan. Berakhirlah kita makan mie goreng di warung setempat sambil neduh nunggu hujan. Tapi masih untung sih, hujan reda pas malam kita berkunjung ke Jam Gadang. Setidaknya dia udah sah maen ke Padangnya karena sudah lihat Jam Gadang –begitu kata orang. Nggak heran banyak yang salah persepsi. Jadi tolong diingat, JAM GADANG BUKAN BERADA DI KOTA PADANG, MELAINKAN DI BUKITTINGGI yang masih sekitar 2-3 JAM PERJALANAN dari Padang.

Jam Gadang di malam hari, di BUKITTINGGI | foto: dokumen pribadi
memeluk Jam Gadang | foto: dokumen pribadi
Suasana kota Bukittinggi di malam hari dilihat dari sekitaran Jam Gadang | foto: dokumen pribadi

Selain Jam Gadang, salah satu yang wajib disinggahi adalah Ngarai Sianok yang terkenal itu. Kita pun akhirnya memilih untuk menikmati pemandangan lembah bertebing dari ketinggian di taman Panorama Ngarai Sianok. Foto-foto dari gardu pandang dan melewatkan Lobang Jepang. Serius, gue waktu itu belum tahu kalau pintu masuk Lobang Jepang ada di situ :| 

Pemandangan Ngarai Sianok dari Taman Panorama | foto: dokumen pribadi

Pemandangan Ngarai Sianok dari Gardu Pandang | foto: dokumen pribadi

Banyak monyet berkeliaran di sekitar gardu pandang | foto: dokumen pribadi
friendship | foto: dokumen pribadi
Tuhan Maha Baik. Beberapa bulan setelahnya gue dapat perjalanan pengganti yang lebih indah untuk rute yang hampir sama. Jadi bisa mampir air terjun Lembah Anai, yang meskipun keren tapi untuk menikmati keindahannya sama sekali nggak bikin capek karena ada di pinggir jalan –literally. Dapat juga Sate Mak Syukurnya yang... enak sih, but i’m not so into saus Padang anyways jadi... cobain dan nilai sendiri ya hehe Langit juga cerah sewaktu bertandang ke Jam Gadang dan Puncak Lawang.

Air Terjun Lembah Anai | foto: dokumen pribadi
tuh, air terjunnya di pinggir jalan lintas Padang - Bukittinggi | foto: dokumen pribadi
Sate Mak Syukur Padang Panjang | foto: dokumen pribadi
di bawah naungan Jam Gadang | foto: dokumen pribadi
Jam Gadang di siang hari - Big Ben nya Sumatera Barat | foto: dokumen pribadi

Meskipun nggak ngelewatin kelok 44 seperti perjalanan hujan-hujanan sebelumnya, kali ini gue malah bisa nenda di...lapangan parkir Nuansa Maninjau Resort. Iya, beneran diriin tenda lalu bermalam di parkiran resort mahal dengan pemandangan Danau Maninjau di bawah sana. Tendanya dibawa bukan tanpa alasan. Karena sebenarnya perjalanan ini memang direncanakan untuk pendakian. Gue sama beberapa rekan jalan-jalan, sebut saja #timhore, berencana untuk mendaki Gunung Marapi. Jadi, sehari sebelum naik bablasin dan maksimalin waktu dengan keliling Bukittinggi sambil melipir ke Puncak Lawang.

Nuansa Maninjau Resort | foto: dokumen pribadi
kami mah diriin tenda aja di parkiran, toh view-nya nggak jauh beda :) | foto: dokumen pribadi
pemandangan danau Maninjau dari Puncak Lawang - starting point paralayang | foto: dokumen pribadi
arena outbond Puncak Lawang | foto: dokumen pribadi
#timhore | foto: dokumen pribadi
Sampai sini dulu ya ceritanya, nanti dilanjut lagi :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go… ...