4 Maret 2012
Part 1: Good Morning Chiang Mai
Cahaya fajar menyambut kedatangan kami di kota
berjuluk Rose of the North ini. Chiangmai memiliki arti 'Kota Baru'. Disebut
demikian karena Chiangmai merupakan kota tua yang dulunya menjadi ibukota
Kerajaan Lanna, imperium yang disebut-sebut sebagai cikal bakal bangsa Thai.
Lokasinya berada di tengah kawasan pegunungan Thailand Utara sekitar 700 km
dari pusat kota Bangkok. Tak heran bila hembusan angin sejuk begitu terasa,
terlebih lagi kala musim dingin tiba.
Saat turun dari kereta kami merasa terintimidasi
dengan tatapan nanar berpasang mata (gambar) panda di dinding pembatas peron
yang memandang tanpa berkedip ke arah kami (?) Hm, yah Chiangmai memang dikenal
dengan Panda sebagai ikon kotanya.
Seperti biasa, kami pun berjalan mengikuti
kerumunan penumpang yang juga turun dari kereta yang sama. Sampailah kami di
depan booth informasi dan tanpa
basa-basi saya menanyakan free map
downtown Chiangmai untuk modal perjalanan kami menjelajah.
*Tips! Ambilah atau tanyakan free map
kota setempat ketika sedang berada di bandara, stasiun, atau terminal.
Hari belum benar-benar terang. Kami memutuskan
untuk beristirahat sejenak duduk melepas lelah di ruang tunggu. Indra pun
melarikan diri menuju toilet. Perjalanan panjang semalam cukup melelahkan.
Tapi, rasa itu mendadak lenyap kalau mengingat tempat di mana kami berada
sekarang ini. Sebuah pengalaman baru telah menanti kami di kota yang baru ini.
Kalau kemarin kita sudah mengunjungi kota tepian pantai yang touristy dan merasakan hiruk pikuk ibu
kota yang bising, sekarang kota berbalut sisa kejayaan kerajaan masa lalu
menawarkan suasana yang lebih tenang.
Pukul enam lewat kami melangkah keluar stasiun
untuk mencari tuk-tuk (bajaj ala Thailand). Menggunakan moda transportasi yang
satu ini memang dibutuhkan skill
tawar-menawar untuk negosiasi harga. Kemarin saya sempat berkonsultasi dengan
mbak Dina Dua Ransel-the digital-nomad-traveler via twitter
yang kebetulan sedang 'bermukim' di Chiang Mai. Dia sih menginformasikan kalau
kita bisa menawar sampai harga 45 Baht untuk perjalanan dari stasiun ke downtown Chiangmai karena jaraknya yang
cukup dekat -tinggal belok kiri dari persimpangan depan stasiun lalu lempeng
aja sampai mentok, tapi cukup jauh juga kalau ditempuh dengan berjalan kaki.
Begitu sampai di pinggir jalan depan stasiun kami hanya mendapati satu buah
tuk-tuk yang sedang ngetem. Yah, karena cuma ada satu jadi nego-nego harganya
nggak bisa ekstrem. Dari 80 Baht yang ditawarkannya akhirnya kami pun
menyepakatinya saja. Dan... pagi ini dalam sejarah hidup saya akhirnya berhasil
mencatatkan diri mengendarai tuktuk untuk pertama kalinya! Tiga tahun
belakangan wira-wiri di Jakarta saja saya belum pernah sekalipun naik bajaj
hehe...
Kami di turunkan di seberang Tha Pae Gate, salah
satu gapura utama kawasan persegi yang di kelilingi parit dan tembok besar
peninggalan jaman kerajaan Lanna. Tha Pae Gate ini cukup spesial menurut saya
karena hanya gapura ini yang memiliki ruang terbuka cukup luas sehingga
seringkali digelar bazar ataupun upacara tertentu di sini.
Hangat mentari yang mulai tinggi menemani dua
pemuda dengan gendongan ransel besar di punggungnya berjalan meraba arah hendak
mencari penginapan. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, kawasan backpacker di Chiang Mai ini berada di
salah satu sudut kawasan persegi, tepatnya di Sri Phum Road. Sayangnya, kebanyakan hostel/guesthouse (yang direkomendasikan
buku panduan karena harganya terjangkau kantong backpacker) masih tutup atau fully
booked. Yah beginilah resiko mencari penginapan secara go show di waktu peak season
-masih pagi pula. Sempat nemu yang murah cuma 100an Baht, jenis dorm sih memang, tapi begitu melihat
bule-bule yang keleleran tidur layaknya ikan asin dijemur dengan berbagai pose
semacam culture shock bagi kami dan
tentu kami mengurungkan niat untuk bergabung menginap bersama mereka.
*Tips! Research destinasi perjalanan
sangat disarankan. Setidaknya kita tahu situasi kondisi yang akan kita hadapi
sehingga bisa mempersiapkan diri dan menentukan waktu terbaik kunjungan. Harga
akomodasi biasanya lebih murah di kala low season, tapi iklim dan cuaca
yang kurang menguntungkan bisa jadi 'menghambat' perjalanan Anda. Semisal di
Thailand, low season berlangsung sekitar bulan September-November di
mana musim hujan sedang melanda.
Kami terus saja berkeliling sambil sesekali
berhenti membaca peta untuk melihat letak penginapan-penginapan yang tercantum
di guide book. Keluar masuk gang,
tembus jalan besar lagi begitu seterusnya. Semakin siang satu per satu
penginapan yang tadinya tutup sudah mulai membuka pintu-pintunya. Tapi tetap
saja kami tidak mendapatkan kamar dengan mudah. Kebanyakan sih kamarnya sudah
di-booking para wisatawan untuk
menginap beberapa hari sekaligus. Sampai satu waktu kami menghampiri seorang
bapak-bapak yang sedang asyik menjemur burung peliharaannya di halaman depan
sebuah penginapan. Beliau pemilik penginapan itu rupanya. Kami pun menanyakan
apakah masih ada kamar kosong yang tersisa. Beliau berkata ADA! Tapi, kami
harus menunggu satu jam untuk bapaknya menyiapkan kamar. Lah, keburu pingsan
kami pak! Selain masalah tarifnya yang masih sedikit di atas rata-rata, sekali
lagi kami mengurungkan niat untuk mereservasi kamar.
Hosh..Hosh..Hosh…
Kami kembali ke jalan! Entah sudah berapa kali
kami memutari kawasan ini, mungkin separuh keliling kota tembok persegi ini. Bruk… Saya menghentikan langkah dan
menurunkan ransel ke tanah. Makan hati juga yah lama-lama, masa iya hampir TIGA
JAM keliling nggak dapat-dapat kamar juga. Apakah kami terlalu memilih-milih
penginapan? Salah satu hal yang mendorong kami untuk ‘melarikan diri’ ke Chiang
Mai ini adalah untuk menghemat sisa Baht kami. Biaya akomodasi yang murah tentu
menjadi tujuan kami.
Sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke
penginapan bapa tadi. Sialnya, satu-satunya kamar kosong yang ditawarkannya
kepada kami tadi pagi sudah diambil oleh tamu lain. Sigh...
Dengan langkah gontai kami keluar pekarangan
penginapan itu. Tak mau ambil pusing kami pun akhirnya mencoba menanyakan kamar
kosong di penginapan lain sekitar situ. Secara ngasal kami masuk ke sebuah
penginapan di seberang jalan.
Mango hostel. Bangunannya sih terlihat kecil,
terhimpit di antara bangunan penginapan lain di kanan-kirinya. Satu set bangku
panjang dan meja kayu memenuhi sudut terasnya yang tak begitu luas. Pintu kaca
warna hitam menjadi satu-satunya akses keluar-masuk. Begitu melewati pintu ini,
kita seperti berada di rumah makan. Bangku dan meja dengan lemari pendingin
minuman mengisi ruang. Di sudut kanan terdapat meja resepsionis sekaligus
berfungsi sebagai kasir. Jadilah ini merupakan mini bar sekaligus lobby
penginapan ini. Jujur kami bingung sewaktu pertama kali masuk. Sepi. Bahkan
tidak terlihat seorang pun di front desk-nya. Kami celingukan. Tak lama
kemudian muncul seorang bule muda dan berdiri menyambut kami sambil berjalan
menuju front desk. Spontan saya heran, hendak menanyakan di mana resepsionisnya
tapi lidah saya tercekat. Tahu-tahu "is there any vacant room?" yang
keluar begitu saja dari mulut saya. Dia menanyai lebih lanjut dan menjelaskan
fasilitas kamarnya. Kami pun membuat kesepakatan, mengisi buku tamu, dan
saatnya membayar. Sampai saat menyerahkan uang pun saya masih tidak percaya
kalau bule tersebut pemilik penginapan ini. Kemudian dia mengantar kami ke
kamar. Melalui pintu di tengah dinding sisi dalam ruangan kami pun mengikutinya
menaiki tangga. Dia berhenti di depan sebuah pintu kamar selepas menaiki anak
tangga yang ke sekian. Dia bukakan pintunya dan... ini adalah kamar paling
bagus yang pernah kami dapatkan di sepanjang perjalanan kami. 300 Baht yang
kami bayarkan benar-benar sebanding dengan apa yang kami dapat. Ruang tidur
yang luas dilengkapi kamar mandi di dalam -shower hot & cold juga closet
duduk serta wastafel dengan cermin yang cukup besar. Sebuah ranjang besar
berkasur busa yang empuk disertai selimut tebal cocok untuk merebahkan badan
yang capai usai menjelajah. PERFECT! Oiya, masih ada bonus fan dan TV dengan
channel internasional pula. Slurp! *pencet-pencet remote ganti-ganti saluran
TV* -sampai lupa motoin interior penginapan saking excited-nya
Kami langsung berguling-guling di kasur
merentangkan badan yang pegal-pegal begitu si bule meninggalkan kamar. Pasang
steker, colokin charger dan mulai mengisi ulang baterai gadget. Menyalakan fan
dan TV lalu bergantian mandi bersiap untuk menjalani hari. Yeay!
semakin mendekat pada penerbitan bukumu sepertinya.. hemmmm..
BalasHapusamin YRA, doakan nda :)
Hapusbeli ya nda, hihihi
thanks anyway *kiss & hug*
saya mau beliiii.. haha..
BalasHapusasiiiikkkk hehe, doakan ya :) amin,
Hapusthanks anyway
aaaah..pengen kesanaaaa T_T
BalasHapusweeeeeee ayok, ajakin saya ya hihi
Hapusi'm in love with this town :)
aaahh pengen kesana dan ngerasain naik tuk-tuk trus nempelin foto gue di tuktuknya
BalasHapusweeee cita-citanya mulia sekali ya nempelin foto di tutuk, sekalian ditulisin 'i was here' LOL
Hapusterima kasih kunjungannya :)
bah ini dia Chang Mai,,, mimpi gue juga bisa kesana !!!
BalasHapusnice share abis lah pokoknya, semoga ksana euy !! amin !!
i love this town too :D
Hapuswanna go there (again) someday!
atau mau ngajak saya? hehe
segera ya saya lanjutkan cerita Chiang Mai nya,
semoga bisa menginspirasi, memotivasi dan tercapai harapannya (?) amin,
terima kasih sudah mampir
akhirnyah bisa add komen,
BalasHapushepiiiii~~ . tolong yahh lanjutkan ceritanyaaah!!! \(≧∇≦)/
siaaaap, insyaAllah :)
Hapusnumpang baca2 yah, dari kemaren2 nyari referensi bwt backpackeran dengan budget setipis2nya blm nemu, baru nemu di blog ini :D
BalasHapussemoga coretan ini bisa membantu... kalau ada yang ingin ditanyakan lebih lanjut boleh kok ditanyain di sini, ngobrol kita. hehe
Hapusterima kasih sudah mampir :)
blm kesampaian sampai chiang mai, padahal dah beberapa kali ke thai
BalasHapusnanti kalau ke Thailand lagi disempetin deh ke Chiang Mai :)
Hapusterima kasih sudah mampir,