Disclaimer:Tulisan ini semata-mata sebagai media untuk mengartikulasikan keresahan dan refleksi pribadi, tanpa bermaksud mendiskreditkan, menyudutkan, atau merugikan pihak manapun. Bagi siapa pun yang mungkin mengalami pengalaman serupa, kiranya dapat menjadi pembelajaran bersama, sekaligus membuka ruang refleksi untuk memaknai kembali dan menemukan kekuatan baru untuk terus bertumbuh dalam menjalankan tugas dan pekerjaan masing-masing.
Hari itu seperti biasa, aku dan beberapa rekan kerja lainnya makan siang bersama di pantry, tentu bukan hanya bersantap tetapi juga berbagi informasi dan pengalaman. Meskipun ku tak begitu ingat apa topik pembicaraan kami, tetapi ada celetukan salah satu pegawai senior yang melekat di pikiranku: ‘bekerja sesuai passion, overrated menurutku’. Saat pertama kali mendengar hal itu, aku sedikit tak percaya. Bagiku, saat itu, bekerja sesuai passion akan membuat pekerjaan terasa ringan dan menyenangkan, bukan? Namun, ku tak terlalu memikirkannya sampai beberapa waktu belakangan, aku mulai percaya bahwa itu mungkin saja benar.
—-
Manusia berencana, Tuhan pula yang menentukan. Eh, atau ‘kebutuhan organisasi’ aja yang mempengaruhi pengambilan keputusan?
—-
“Apa yang membuatmu layak untuk mendapatkan beasiswa ini?”, satu pertanyaan pamungkas dalam wawancara program beasiswa yang harus bisa ku jawab dengan baik dan meyakinkan.
Tentu ku sudah menyiapkan jawaban yang sedemikian rupa untuk menjelaskan bahwa secara umum telah teridentifikasi masalah pada organisasi, dan untuk bisa mengatasinya, ku perlu mendapatkan peningkatan kapasitas melalui pendidikan formal lanjutan dengan pembiayaan dari beasiswa ini. Ku mengelaborasinya lebih lanjut dengan rencana aksi, sekembalinya dari studi, untuk bisa berkontribusi tak hanya dalam mengatasi masalah tadi, tetapi juga mendorong pembaruan dan terobosan baru untuk perbaikan berkelanjutan bagi organisasi. Pokoknya, organisasi tidak akan menyesal berinvestasi padaku.
And, voila: I made it!, both getting the scholarship and completing the study.
—-
Sedikit gambaran, latar belakang pendidikanku akuntansi, namun studi lanjutan yang ingin ku ambil adalah program manajemen sumber daya manusia. Cukup spesifik dan tidak sepenuhnya nyambung dengan background-ku sebelumnya. Aku pribadi memang sudah sejak lama tertarik dengan ‘ilmu manusia’, meski unit kerjaku core business-nya berfokus pada auditing. Kebetulan juga ku lebih banyak bekerja di back office, terpapar dominasi perspektif manajemen dibanding teknis audit itu sendiri. Sampai pada akhirnya, aku menemukan ‘masalah’ (setidaknya bagiku) terkait pengelolaan SDM di unit kerjaku, yang kemudian menjadi pemicu bagiku untuk bertekad mengambil program manajemen SDM saat berkesempatan melanjutkan studi lanjutan. Sejak itu, aku mulai mencoba mendalami topik pengelolaan SDM secara mandiri, mulai dari dengerin podcast dari praktisi Human Resources (HR) sampai mendaftar pelatihan dasar manajemen SDM. Well, ini nggak lantas membuatku jadi paham banget soal manajemen SDM, sih. Masih harus banyak belajar, apalagi saat studi, cukup challenging juga bagiku untuk dapat memahami konsep dan teori pengelolaan SDM karena sebelumnya ku bukan seorang praktisi HR. Namun, aku masih memiliki keyakinan, ketika kembali ke unit kerjaku nanti, aku bisa ditempatkan pada unit pengawasan yang memberiku ruang untuk menggali banyak hal tentang pengelolaan SDM secara menyeluruh, bisa berkontribusi dalam memberikan masukan/rekomendasi perbaikan, dan tidak menutup kemungkinan, bersama tim, membuat terobosan berharga bagi organisasi.
—-
Ketika mimpi terbentur realita, ku kira aku baik-baik saja, namun ternyata perlu waktu bagiku untuk bisa menerima kenyataan ini seutuhnya.
Iya, apa yang ku cita-citakan dalam wawancara beasiswa belum menemukan jalannya saat ku kembali ke unit kerja setelah menyelesaikan studi. Mungkin aku terlalu naif untuk meyakini bahwa apa yang kurencanakan akan berjalan lancar: unit kerja mengkapitaliasi investasinya padaku (sesuai bayanganku). Ibaratnya, setelah dikasih ‘alat pancing’, biasanya akan diajak ke ‘kolam ikan’ untuk praktekin fitur-fiturnya sampai bisa (dan bahkan mastering) ‘nangkep ikan’.
Ternyata tidak.
Meng-highlight ‘kebutuhan organisasi’, aku dan ‘alat pancing’-ku tidak benar-benar sampai di ‘kolam ikan’. Tempat ini cukup asing dan bisa jadi lebih besar dari kolam ikan yang ku harapkan. Aku bisa melihat ada air di sana, yang mungkin ada ikan juga di dalamnya. Namun, rasanya seperti membawa ‘alat pancing’-ku ke lautan luas, tanpa sempat mengasah skills memancingku di ‘kolam ikan’ seperti yang kurencanakan.
—-
Ah, mungkin ini hanya aku dan ketakutanku.
Ditampar kenyataan, aku merasa hilang arah, tanpa rencana cadangan. Butuh waktu untukku berdamai dengan keadaan, sekaligus menjaga ‘mimpi kecil’ itu tetap menyala. Aku juga berusaha mengembangkan kompetensiku secara mandiri, seperti mengikuti pelatihan atau mengejar sertifikasi di bidang pengelolaan SDM. Namun, sejauh ini, posisiku yang bukan praktisi HR dan unit kerjaku yang tidak langsung terkait dengan pengelolaan SDM cukup membatasi ruang gerakku, karena banyak program pelatihan dan sertifikasi mensyaratkan pengalaman langsung di bidang tersebut.
It took me about a year to finally come to acceptance. Even now, the path ahead remains uncertain, but I choose to be more present — to live in the moment and trust the flow of life.
Coba melihat kembali ke belakang, aku pun menyadari satu hal: selama ini, tidak semua orang — aku, rekan-rekan kerjaku, atau banyak pekerja lainnya di luar sana — punya privilege untuk bekerja di bidang yang benar-benar sejalan dengan minat atau passion mereka.
Semenjak itu ku mulai berpikir, tanpa privilege, bekerja sesuai passion terdengar overrated.
Komentar
Posting Komentar