Langsung ke konten utama

Scholarship Hunting!

 

It took me a while to decide writing this article. I’ve been planning to share my experience in scholarship hunting, yet many things happened from time to time so that I thought this wouldn’t be relevant. However, as I promised to myself that I should share what I had been through in getting a scholarship, so this is it!

Bagi kalian yang bekerja di Kementerian Keuangan, tentu sudah cukup familiar dengan beasiswa FETA (Financial Education and Training Agency). Ini merupakan beasiswa yang dikelola oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kemenkeu, sebagai salah satu upaya peningkatan dan pengembangan kompetensi pegawai di lingkungan Kemenkeu. Selain beasiswa FETA, terdapat beberapa penawaran beasiswa lainnya dari luar Kemenkeu seperti Fulbright/AMINEF (US), Chevening Scholarships (UK), The Australia Awards Scholarships (AAS-Australia), Korea International Cooperation Agency Scholarships (KOICA-Korea), Erasmus Mundus LEADERS, LPDP, Program Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas dan sebagainya.

Meskipun terlihat cukup banyak pilihan beasiswa yang ditawarkan, tentunya tetap perlu menyusun strategi untuk bisa mendapatkannya, bukan? Ibarat berburu, pasti berbeda metodenya untuk bisa menangkap ikan di sungai dengan memburu kijang di hutan. Setiap pemburu pun punya preferensi masing-masing, ada tipikal yang fokus ke satu tujuan atau memilih ‘tebar jarring’. Selain pertimbangan personal lainnya, menargetkan beasiswa tertentu merupakan salah satu hal yang penting untuk diputuskan. Dari penawaran yang ada, beasiswa mana paling berpeluang untuk bisa kita dapatkan.

Terkait peluang mendapatkan beasiswa, saya pribadi awalnya tidak begitu mempermasalahkan hal ini karena aturan masa kerja untuk bisa mengikuti seleksi beasiswa membuat saya berencana untuk mendaftar penawaran apapun yang tersedia ketika saya telah memenuhi syarat tersebut. Belakangan, ketika mengikuti sharing session pengalaman mencari beasiswa, saya baru menyadari bahwa beberapa orang harus mengalami beberapa kali kegagalan sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa. Inilah yang memberikan perspektif baru bagi saya bahwa peluang memperoleh beasiswa akan lebih besar kalau kita dapat memahami awardee seperti apa yang dinilai pantas untuk diberikan pendanaan studinya. Pemahaman terhadap karakteristik beasiswa menjadi acuan dalam melakukan persiapan apa saja yang diperlukan.

Why FETA?

Penawaran FETA muncul pada kesempatan pertama untuk saya dapat mendaftar beasiswa di penghujung tahun 2019. Selain itu, beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk memantapkan diri apply FETA adalah:

  • Persyaratan administratif yang lebih sederhana, seperti skor TPA dan Bahasa Inggris dengan pilihan submit sertifikat TPA Bappenas dan English proficiency tanpa perlu mengikuti tes lagi.
  • Pilihan kampus yang lebih banyak (universitas yang termasuk peringkat 100 besar dunia menurut QS/THE atau badan pemeringkat lainnya), berbeda dengan penawaran beasiswa lain yang mensyaratkan kampus di wilayah tertentu (beasiswa dari pemerintah negara lain) atau dengan peringkat universitas yang lebih tinggi peringkatnya (10-30 besar dunia).
  • Program pelatihan sebelum keberangkatan (pre-departure training), yang belum tentu disediakan oleh penyelenggara beasiswa lain. Program pre-departure training merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat khususnya bagi applicant yang akan melanjutkan studi ke luar negeri karena menjadi sarana mengasah kemampuan berbahasa Inggris dan memperoleh pembekalan terkait student life seperti penulisan esai, sintesis jurnal, presentasi, bahkan antisipasi culture shock.

Mengingat persaingan yang cukup kompetetif, perolehan skor TPA dan Bahasa Inggris cukup menentukan untuk dapat lolos tahap seleksi administratif. Bagi sebagian individu memerlukan waktu untuk berlatih sampai merasa percaya diri mengambil ujian TPA dan/atau Bahasa Inggris. Dengan mengetahui bahwa beasiswa yang kita targetkan mensyaratkan skor TPA dan kemampuan Bahasa Inggris, persiapan bisa dimulai sejak jauh hari. Ketika sudah merasa siap, barulah mengikuti ujiannya dan Ketika skornya belum memenuhi harapan, masih ada waktu untuk mengulang sehingga ketika penawaran beasiswa keluar, kita sudah mempunyai modal sertifikat nilai TPA dan kefasihan berbahasa Inggris yang cukup. Berapakah skor yang ‘aman’? Well, saya tidak pernah tahu, tetapi skor TPA > 620 dan nilai TOEFL ITP > 550 bisa dibilang ‘aman’ waktu itu.

Lolos tahap seleksi administratif, tantangan berikutnya adalah psikotes, termasuk di dalamnya wartegg test (menggambar) dan pauli test (menjumlahkan angka-angka di atas kertas selebar koran). Opsi submit sertifikat TPA dan Bahasa Inggris untuk seleksi administratif, selain memudahkan juga memberikan waktu lebih banyak untuk berlatih psikotes. One step ahead, meski belum pengumuman hasil seleksi administratif, khususnya bagi yang kurang jago gambar, sudah bisa mulai membiasakan diri menggambar orang, pohon, atau karakter lainnya yang diminta dalam psikotes. Setelah tahu apa dan terbiasa menggambarnya, level up dengan menetapkan target waktu tertentu untuk menyelesaikan gambarnya. Berdasarkan informasi di internet, kita diberi waktu 15 menit untuk menggambar pohon, tetapi pada kenyataannya, waktu yang diberikan pada hari H hanya 8 menit. Panik, nggak? Nah, kalau sudah terbiasa dengan latihan menggambar, hal semacam itu bisa diantisipasi dan dihadapi dengan tenang. Ini berlaku juga untuk tes koran, meski sepengalaman saya belum sampai nambah kertas –tangan sudah mau copot rasanya! and I made it. Tentu akan lebih baik jika kita bisa menjumlahkan lebih banyak, akurat dan cepat. Kalau untuk gambaran teknisnya, mungkin teman-teman yang pernah mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru STAN untuk program alih program Diploma IV sudah familiar, ya… secara penyelenggaranya kan sama, BPPK.

Berhasil menembus psikotes dan memasuki proses akhir, kita dihadapkan pada wawancara. Terlepas dari anggapan wawancara merupakan hal yang tricky, penundaan dan ketidakpastian pelaksanaannya, karena pandemi yang mengarah pada pembatasan sosial, menjadi another challenge bagi seluruh peserta. Setelah situasi lebih kondusif, lebih dari enam bulan kemudian, dan wawancara diselenggarakan dalam format daring. Perubahan format tidak serta merta mengubah fakta bahwa the key to pass this test depends on how we convince the interviewers. 3 (tiga) pewawancara akan menguji setiap peserta dengan beragam pertanyaan yang secara umum dapat terklasifikasi meliputi:

  • Motivasi dan Rencana Studi;
  • Latar Belakang Pekerjaan dan Rencana di Masa Mendatang; serta
  • Hal Personal seperti kepribadian dan keluarga.

Bisa dikatakan, setiap pewawancara akan berfokus pada masing-masing jenis pertanyaan tersebut. Wawancara dapat berlangsung dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dengan rata-rata durasi 45 menit. Pertanyaan akan berkembang dari jawaban-jawaban kita sendiri. Jawaban yang logis, jelas, dan mantap dapat menunjukkan kepercayaan diri dan meyakinkan pewawancara. The tricky part is when they (try to) get us cornered by asking an offensive question, atau pertanyaan unpredictable lainnya. Well, as long as we know what we are going to do with the scholarship and have such a firmed yet feasible plan, we’ll make it!



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go… ...