Langsung ke konten utama

Ekspedisi Kerinci: Menjejak di Atap Sumatera 3.805 mdpl


 
let's go!

Sabtu, 15 Oktober 2016
Hari ini bakal jadi perjalanan panjang lintas jalur darat dari kota Padang menuju Kersik Tuo, Sungai Penuh - Jambi. Ya, memang. Jalur umum pendakian gunung Kerinci start dari sini, sudah masuk wilayah Jambi. Namun meski demikian, jarak tempuh lebih dekat dari Bandara Internasional Minangkabau di Padang. Berangkat dari Padang sekira pukul 10 pagi. Mengambil jalur lintas Padang - Sungai Penuh via Solok Selatan menembus jalanan berkelok di antara pegunungan.

salah satu pemandangan yang terabadikan dalam perjalanan kami
sebelum lintas batas Sumbar - Jambi
mampir salat dulu di surau

Keindahan alam sekitar tidak menghapus kerisauan dalam hati. Beberapa hari sebelum keberangkatan tersiar berita aktivitas Kerinci meningkat. Gempa-gempa kecil bergolak di puncak. Pendakian aman radius 3 km dari puncak, atau praktis sampai shelter 2 saja.

Sekitar pukul 6 sore ketika kami sampai di
homestay Paiman tempat kami menginap sebelum memulai pendakian. Baru saja ingin melepas lelah usai menempuh 8 jam perjalanan, kami memperoleh kabar bahwa sudah 3 hari ini Kerinci badai hebat. bahkan beberapa pendaki tidak dapat summit karena cuaca yang tidak mendukung. pendaki yang nekat nge-camp di shelter 3 ada yang sampai frame tendanya patah. Horor. Berita yang berbeda tapi cukup membuat sesak di dada. puncak adalah tujuan, tetapi bagaimanapun juga, keselamatan tetap nomor satu.



Malam itu kami ngobrol banyak dengan sepasang bule Ceko yang baru turun. Mereka membagi cerita pendakiannya yang menegangkan. Bahkan si cewek Ceko menunjukkan rekaman video keadaan camp mereka yang diterpa badai. Tenda bergoyang diterpa angin kencang, diselimuti rinai hujan. mencekam. Kami pun berpasrah, berdoa kepada Tuhan, semoga esok kami bisa melaksanakan pendakian

Minggu, 16 Oktober 2016
Selesai subuh, kami mondar mandir bergantian memantau Kerinci dari balkon penginapan. Puncak masih diselimuti kabut. Penanda badai masih berlangsung. Dalam kebimbangan kami memutuskan untuk melengkapi kebutuhan logistik terlebih dahulu. Kami pun keluar penginapan untuk mencari toko kelontong yang buka.

lingkungan sekitar penginapan

Tugu Macan Legendaris di perkebunan teh Kayu Aro, berlatar Kerinci yang berselimut kabut
Berada di sini, Kayu Aro di kaki Kerinci, rasanya seperti di rumah sendiri. Penduduk setempat berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Suasana pun terbawa jadi Jawa banget. Usut punya usut rupanya para penduduk di sini dulunya adalah 'korban' transmigrasi sejak zaman penjajahan yang dipekerjakan untuk mengolah perkebunan teh Kayu Aro, perkebunan penghasil teh terbaik (salah satu) yang terluas di... dunia. Sayangnya justru teh teh terbaik itu diekspor ke Belanda jadi yang di sini kebagian teh kualitas biasa.

Perkebunan Teh Kayu Aro di Kaki Kerinci
Kelar belanja kami berkonsultasi dengan porter sekaligus pemandu kami. Penggunaan porter/guide sebenarnya tidak wajib. Tapi untuk keamanan dan ngebantu banget buat bawain barang bawaan, bolehlah pake jasa porter. Paiman homestay -see, nama penginapan kami aja udah Jawa banget kan?- bisa mencarikan porter sekalian bagi pendaki yang menginap. Tarif 300rb/hari. Dalam hal ini, tenda dan logistik kami titipkan ke keril porter. Selebihnya kami bagi ke tujuh keril kami masing-masing yang sebelumnya sudah terisi perlengkapan pribadi.

Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat, dengan kepasrahan tanpa memaksakan. Kami akan mendaki semaksimal mungkin sampai titik yang bisa dicapai dengan mempertimbangkan cuaca di atas. Pukul 8 pagi, kami berangkat menuju R10, tempat pos pendaftaran pendakian. Biayanya 10rb/orang untuk 2 hari 1 malam. Pukul 9 pagi, usai pemanasan dan berdoa, pendakian kami mulai dari perladangan sebelum pintu rimba.
bismillah... 🙏




Waktu tempuh pintu rimba -- pos 1 -- pos 2 -- pos 3 rata-rata 20-an menit antar titik. Trek didominasi jalanan setapak, dari yang awalnya datar datar aja makin lama melandai dan berundak, berpijak pada akar juga melompati pohon tumbang. Di tengah perjalanan diguyur hujan. Tapi malas rasanya menggunakan ponco atau jas hujan. Kanopi pohonan yang tinggi dan rimbun bak payung besar menghindarkan kami dari hujan. Yang penting keril di gendongan sudah terlindungi cover bag, gapapa badan sedikit kebasahan.

Begitu sampai di pos 3 hujan turun dengan lebatnya. Alhamdulillah ada shelter/pos yg cukup luas untuk berteduh. Bahkan begitu sampai sini, kami malah langsung disodori minuman hangat oleh pendaki lain yg sudah datang lebih dulu. Mereka adalah #pendakipalembang. Kami pun bercengkrama sambil menunggu hujan. Pendaki wanita asal Thailand menyusul bergabung belakangan.
 
taking a wefie with the Thai-woman hiker, nice to meet you :)

Iseng nanya ke mbak Thailand nya, "so how's the track?".

Dia pun menjawab, "it's like waterfall".

Memang di beberapa titik treknya merupakan jalur air. Jadi begitu hujan ya sudah, air mengalir di sepanjang trek pendakian. Dan bahkan perjalanan dari pos 3 menuju shelter 1 lebih 'ngetrek' lagi dengan trek berair sisa hujan tadi.
Begitu hujan reda, kami melanjutkan perjalanan menuju shelter 1. Trek mulai menantang dan semakin seru. Hujan menyisakan jalur yang becek dan licin. Penggunaan trekking poles dapat dipertimbangkan sebagai alat dukung pendakian. Menggunakannya kiri kanan dapat membantu keseimbangan.

Dari pos 3 menuju shelter 1 kami tempuh dalam waktu +/-60 menit. Sesampainya di shelter 1, pada ketinggian 2.500-an mdpl, kami sepakat untuk membuka bekal makan siang yang dibawa dari penginapan. Ya, kita bisa request untuk dibungkusin bekal pendakian kepada pihak homestay Paiman. Tarifnya 15rb/bungkus. Menu menyesuaikan menu sarapan pagi itu. Untuk sarapan dan makan malam dikenakan biaya masing-masing 10rb dan 15rb per porsi dengan sistem prasmanan. Cita rasanya Jawa banget!
😁 Secara orang jawa yang masaknya hehe.

shelter 1
Cuaca masih sendu siang itu. Namun kami tetap melangkah maju. Melanjutkan perjalanan sampai di titik maksimal pendakian yang bisa kami tempuh. Sambil terus berdoa, semoga cuaca berubah cerah sehingga memungkinkan kami melakukan summit ke puncak. Rencananya kami mau maen aman saja dengan nge-camp di shelter 2, daripada nekad bangun tenda di shelter 3 yang rawan badai karena lebih terbuka di batas vegetasi.

Mari meluncur ke shelter 2!

Dan pendakian sesungguhnya baru saja dimulai. Medan yang semakin terjal dan bahkan perjalanan dari shelter 1 ke shelter 2 (bayangan) memakan waktu 2,5 JAM. Dalam perjalanan, rombongan kami terbagi ke dalam 3 grup.

Grup 1, @galefwor.wezdy dan @ruddin.sy melesat di depan sebagai tim advance yang ngetag tempat, mendirikan tenda dan.. masak air sekalian. hehe.
Grup 2, gue sama @rzhmda tim apa ya? intermediet kali ya, haha karena Mada lagi ngantuk jadi rada males ngebut yang akhirnya nemenin gue jalan pelan sambil bikin footage 😂. ngawur.
Grup 3, ada @hibatulramadhan @putuprasasta @budpra sama pak Tumin sang porter luar biasa. biar belakangan tapi sebenarnya tim kendali, karena arahan/instruksi ada di... Pak Tumin.

Tiap grup megang 1 HT untuk sarana komunikasi. jadi meski kepisah tapi koordinasi tetap jalan.

Awalnya tim advance mau ngejar ke shelter 2, namun di tengah jalan #sabdaPakTumin menginstruksikan untuk camp di shelter 2 bayangan saja, sekitar 10 menit sebelum/di bawah shelter 2. Menurut pak Tumin, sumber air terdekat di shelter 2 bayangan lebih bersih.

Ya itu salah satu contoh koordinasi jarak jauh kami. Kalau mau koordinasi sama pacar bisa juga telepon atau SMS, syukur syukur sinyal internet kebawa angin bisa update status. Di shelter 2 bayangan gue sempet update IG stories loh wkwkwk 😆 provider merah ya tapi... hehe.

Nyampe camp cuaca cukup cerah. tapi angin berhembus kencang. pemandangan di bawah sana terlihat jelas, meski mentari nongol-sembunyi sedari tadi. the wind kept blowing. harder. it's freezing. Gotong royong bangun tenda, bikin dapur darurat beratap fly sheet. semuanya goyang diterpa angin. Malam itu sambil kedinginan nunduk-nunduk di bawah fly sheet, kami memasak dan makan malam bersama. Romantis jauh dikata, badan tipis maunya sembunyi di tenda.

pemandangan sore dari camp kami di shelter 2 bayangan
Dingin. susah tidur, mudah kebangun. stamina menurun. Pasrah apa yang akan terjadi esok hari.

Senin, 18 Oktober 2016

Angin menghembus gejolak. Menebar dingin yang merasuk. Entah bagaimana merengkuh puncak. Mungkinkah menembus hawa yang menusuk. 

Usai subuh yang agak kesiangan, terdengar berisik di dapur. Kamipun merapat, duduk memutari kompor saling bantu memasak ini itu. Niatnya mau menghangatkan tubuh. Sampai akhirnya terlontar pertanyaan, "jadi summit nggak nih?".

Normalnya kalau summit dari sekitar shelter 2 ke puncak, kita sudah harus mulai jalan setidaknya jam... 3 pagi. lha ini udah jam 6 lebih. Dari obrolan juga rupanya kami tidak ada yang benar-benar tidur nyenyak semalam. Sering kebangun. Beberapa kawan juga sudah mulai menunjukkan gejala demam. sementara cuaca masih gini-gini aja. Jadilah pada jawab, "terserah". Gue mah pasrah. Balik lagi ke puncak adalah tujuan, tetapi tetap mengutamakan keselamatan. Konsultasi sama Pak Tumin, ya beliau siap saja menemani kami summit.

Dan pada akhirnya sekitar pukul 07.19, rombongan kami berjalan perlahan meninggalkan tenda. Bermodal jaket tebal, kupluk, buff, gaiter, trekking poles, sama gendong daypack kami memutuskan summit -sambil berdoa kepada Tuhan supaya cuaca menjadi bersahabat.

10 menit kemudian kami sampai di shelter 2. Dan di sinilah dimulainya trek tegak lurus yang terkenal itu. Ya memang tidak secara harfiah begitu. Namun memang jalurnya cenderung vertikal dari shelter 2 ke shelter 3. Melintas jalan air di bawah rimbunan perdu.

Kalau nge-camp di shelter 3 mungkin kita harus bersusah payah manjat manjat, nunduk nunduk, sambil gendong keril besar dan berat. Karena bawaan lebih simpel, kami jadi lebih lincah dan alhamdulillah nggak nyampe sejam kemudian sudah mencapai shelter 3. yeay! -tapi tetep ngos ngosan juga, meskipun rimbunan perdu menyelamatkan kami dari hembusan angin.

Mendekati shelter 3 yang merupakan batas vegetasi, trek semakin terbuka jadilah ketiup angin lagi. Tapi puji syukur, cuaca terlihat lebih cerah. Pemandangan di bawah sana sangat jelas sekali. Mentari mulai menampakkan diri meski malu malu. Alhamdulillah... semakin mantap kami melangkah.

shelter 3
08.36 kami melanjutkan pendakian.

Lepas shelter 3, kita memasuki cadas. Trek berbatu dan berpasir tanpa perdu penahan angin yang menggebu. Harusnya jam segini udah harus turun dari puncak. Takut asap belerang yang bisa saja mengarah ke jalur pendakian. bahaya. Lha tapi kami malah baru berangkat naik 🙈. Bismillah semoga Tuhan meridhoi.

Rombongan kembali terpecah di Batu Gantung –konon salah satu spot foto terbaik.

gue nyusul @rzhmda dan @ruddin.sy yang memimpin di depan. Sampe engap gue jalannya. Mereka cepet banget. @galefwor.wezdy nungguin @hibatulramadhan sama @putuprasasta yang duduk duduk menikmati pemandangan dari Batu Gantung. Om @budpra dan Pak Tumin monitor dari belakang.

09.45 gue nyampe Tugu Yuda, sekitar 20 menit sebelum puncak.

Jalur pendakian dari shelter 3 ke Tugu Yuda cukup bikin gue jiper. Harus hati hati melangkah dan memilih tempat berpijak. Gue nggak ragu buat merangkak atau ngesot nempel di batu batu karena takut batunya licin nggak kuat menopang. Gue lebih memilih jalur air yang ada batu batunya buat pijakan dan hal ini masih gue lanjutkan saat menuju puncak.

Tiba tiba HT bunyi, "jalurnya ikuti patok ya". Pesan dari tim kendali seperti pengingat bahwa kami harus tetap on track. Dan gue baru nyadar kalo sedari tadi gue lebih banyak nunduk liyatin jalan. Sejak itu langsung jelalatan nyari patok dan alhamdulillah kami berada di jalur yang benar.

10.03 rasanya gue kehabisan kata.

Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan yang memberikan ridho-Nya sehingga kami bisa berdiri di atap Sumatera.





Kami segera jepret kilat mengabadikan momentum sambil was was asap belerang yang menjilat jilat di bibir kawah.

Terimakasih, Kerinci yang tak pernah ingkar janji. Terimakasih atas kesempatan ini. Alhamdulillah... 🙏

groufie with Pak Tumin | photo credit: @budpra


photo credit: @budpra

photo credit: @budpra



belajar bagaimana keyakinan menjadi kekuatan.
belajar bagaimana doa menjadi pengharapan.
puncak bukan sekadar tujuan.
jalur pendakian menjadi pengejawentahan.
dalam deru angin berhembus menemukan ketenangan.
dingin terbungkam hangat kebersamaan.
perjalanan, pengalaman, pembelajaran.
berkat kuasa Tuhan.




Komentar

  1. Luar biasa!! Kalian layak menyandang gelar "anak STAR" , bisa sampai ke atap tertinggi Andalas dan semakin dekat menuju bintang.. Alhamdulillah yah akhirnya bisa sampe pucak di tengah kegamangan akan cuaca yang ngeri-ngeri sedap.. Kalau nemu gunung yang bertoilet, gue ikut!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. baru ngeh maksudnya anak 'STAR' semakin dekat menuju bintang haha, alhamdulillah...

      toilet selalu ada toiletnya Bar, luas lagi. ada semak-semak atau gali tanah hehe yok!

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go… ...