24 Oktober 2012
Aku maju satu
langkah, berdiri tepat sebelum garis kuning sebagai batas antrian sebelum meja
pemeriksaan imigrasi. Aku nggak sabar melihat cap imigrasi Malaysia menghiasi
halaman pasporku. Halo, Malaysia... Kami datang lagi! Kali ini kami mendarat di
LCCT-Kuala Lumpur International Airport.
***
Sewaktu roda
pesawat mulai menyentuh landasan, aku sudah bersiap dengan kameraku merekam
pendaratan kami –tuh kan norak!
Detik-detik pendaratan yang terekam dari kameraku sama sekali nggak ada yang
spesial, kecuali gambarnya yang ‘berguncang’ seiring pedal rem yang hampir lupa
diinjak sama pilotnya (lah?)
“Bandaranya sebelah mana sih ya em?”,
aku mengedarkan pandangan di sekitarku begitu usai menuruni tangga pesawat.
“Ya ini bandaranya”,
jawab Fahmi datar.
“Ya gue tahu sih kita naiknya
low cost airlanes, tapi serius bandaranya
begini???”, aku masih belum percaya.
“Udah, ikutin dulu orang banyak”,
sahut Fahmi kemudian. Kami pun bersama penumpang lain berjalan kaki menuju
koridor panjang yang terintegrasi dengan bangunan utama bandara yang kalau
dilihat dari luar lebih mirip seperti gudang besar penyimpanan.
“Gila! Gue pikir LCCT ini bakal lebih keren
karena berada di ibukota negara. Tapi, kalah jauh ini mah sama Bandara Penang
kemarin”. Gatal rasanya kalau mulut ini nggak komentar.
“Berasa di Blok M ya kita?”,
celetuk Fahmi sekenanya.
Sampai di
imigrasi aku dan Fahmi mengambil lajur antrian yang berbeda, biar bisa barengan
gitu ntar pas keluar dari imigrasinya. Tapi entah kenapa saat berada di dalam
antrian aku seperti merasa kurang nyaman. Cepat-cepat aku menepis perasaan itu.
Aku harus bersemangat karena liburan akan dimulai, batinku menyemangati diriku
sendiri.
Ini
karena suasana meja imigrasi di seberang sana tampak
begitu menegangkan. Lelaki paruh baya di balik meja imigrasi itu memasang mimik
muka geram seperti memarah-marahi wanita muda di hadapannya, sebut saja Bunga.
Kalau direka ulang adegan, mungkin akan seperti ini dialog mereka:
“Dokumen kamu tidak lengkap. Kamu pekerja ilegal ya?
Hayo ngaku!”, gertak petugas imigrasi.
“Bukan, Pak!”,
jawab Bunga takut-takut.
“Ciyus? Miapah?”,
petugas imigrasi mulai memelototkan matanya.
“Cungguh...”,
Bunga tak bisa banyak berkata. Ketakutan meliputi dirinya.
“Kami tidak bisa membiarkanmu masuk ke negara kami
bila dokumen kamu tidak lengkap. Waktumu tidak banyak. Kami akan memulangkanmu.
Demi TU-HAAANN!!!”, petugas imigrasi itu mengacungkan
telunjuk ke sudut ruang mengarahkan Bunga untuk menyelesaikan permasalahannya.
Untung nggak sampai ada adegan gebrak meja. Pfiuh...
“Next”, OMG...it’s my turn!
Aku bergegas
menghampiri meja imigrasi itu dan menyerahkan paspor berikut sobekan boarding pass-ku. Petugas membolak-balik
halaman pasporku –masih dengan mukanya yang jutek.
“Di sini berapa lama?”,
tanyanya.
“Tiga sampai lima hari”,
jawabku.
“Untuk keperluan apa?”,
pertanyaan berlanjut.
“Liburan”, jawabku
kemudian.
“Bisa tunjukkan tiket kepulanganmu?”,
dih kepo bener dah ini orang.
“Tiket dibawa sama teman. Kami berencana liburan di
Malaysia dan pulang via Singapura. Dia di meja imigrasi sebelah, perlukah
dimintakan tiketnya?”, aku berusaha memenuhi
keingintahuannya.
“Tidak perlu”,
sahutnya ketus dan lalu menstempel pasporku. Udah gitu aja? Nggak ada ucapan
‘selamat berlibur’ atau semacamnya? Oke, fine!
Aku meninggalkan meja imigrasi dengan muka gondok.
“Hahaha... Kenapa pi?”,
Fahmi menyambutku begitu keluar imigrasi. Sepertinya dia melihat kejadian tadi.
Lebih tepatnya dia menertawakan aku.
“Tahu tuh, petugas imigrasinya rese’ mukanya jutek!
Interogasi berasa gue ini TKI ilegal. Beda banget sama petugas imigrasi Penang
yang ramah”, aku tidak bisa menutupi kekesalanku.
“Bahahahaha...”,
Fahmi tak dapat menahan tawanya.
“Emang lo tadi nggak ada masalah gitu di imigrasi?”
aku balik bertanya.
“Muka sipit kaya gue mana mungkin dicurigai TKI
ilegal? Hahahahaha”, jawabnya penuh
kemenangan. Bah, dia selalu membanggakan wajah orientalnya itu.
Komentar
Posting Komentar