04 Maret 2012
@wijayarga_ @DuaRansel halo mbak
Dina, maaf seharian hape mati. Kita lagi di Tha Pae Gate Night Bazaar nih. Mbak
Dina ada acara malam ini?
@DuaRansel @wijayarga_ kami juga
berencana untuk pergi ke sana. ayo ketemuan! Kira-kira 30 menit lagi ketemu di
bawah gapura Tha Pae Gate sisi Ratchadamnoeng rd.
@DuaRansel @wijayarga_ aku pake kaos
putih celana krem selutut. Ryan lebih tinggi 30 cm dari aku.
pas di acara #MeetDuaRansel Jakarta beberapa bulan kemudian |
***
Waktu itu aku menunggui Indra
yang lagi asyik nyobain Thai Massage
di Tha Pae Gate Night Bazaar. Aku memisahkan diri, duduk di tepi pagar pembatas
parit kawasan persegi sekitar Tha Pae Gate sembari menyesap minuman hijau
dingin yang terbuat dari sari daun mangkok. Daripada mati gaya, aku iseng
twitteran sama mbak Dina ‘Dua Ransel’ Digital
Nomad, yang belakangan memperlambat laju pengembaraannya untuk sementara stay beberapa waktu di Chiang Mai. Dari
awal sebelum ke Chiang Mai aku juga sudah mengontaknya via twitter menanyakan
situasi kondisi di sana, mengingat kala itu diberitakan Chiang Mai berkabut
akibat asap kebakaran hutan juga masa recovery
dari banjir besar di akhir tahun 2011.
Karena aku sudah di Chiang Mai
sekarang, tak pantas rasanya jika tidak memberi kabar kepada mbak Dina. Makanya
malam itu aku iseng ngetweet. Pengennya sih ketemuan, tapi mbak Dina ada acara
nggak ya?
Akhirnya kami bertemu. Baru juga
salaman saling memperkenalkan diri masing-masing kami sudah punya PR buat mbak
Dina.
"Mbak Dina, boleh minta tolong? Bantu tawarin beli tas selempang
ala Thai dong buat kakaknya Indra", aku mencoba menyampaikan amanat
Indra kepada mbak Dina.
Mbak Dina menyambut baik. Kami
pun mulai mengeksplorasi pasar malam dengan mencari tukang tas. Kami berjalan
memutari lorong-lorong sempit di antara lapak-lapak pedagang. Indra dan mbak
Dina begitu semangat blusukan
sementara aku dan Ryan melangkah di belakang mereka. Saat itulah aku mengajak
ngobrol Ryan –in English loh ya #songong
Menurut pengakuan Ryan, pertemuan
pertamanya dengan mbak Dina adalah saat mereka sama-sama ikut pertukaran
pelajar di Jepang. Mbak Dina dari Bandung, Ryan dari Kanada. Setelah lulus mereka
memutuskan untuk menikah. How sweet!
Terus gimana ceritanya mereka
bisa jadi seperti sekarang ini?
Malam itu akhirnya kami berempat duduk
berbincang sambil makan bersama di tempat makan di tengah-tengah pasar malam
itu. Banyak hal yang saling kami bagi. Pengalaman mbak Dina dan Ryan berkeliling
dunia aku barter dengan current issue
yang lagi happening di Indonesia
waktu itu –secara mbak Dina lama nggak pulang kampung ke Indonesia gitu… hehe
Hal yang menarik dari diskusi
kami malam itu adalah mengenai keputusan untu meninggalkan zona nyaman dan
mulai ‘melihat’ dunia. Sebagaimana keputusan mbak Dina dan Ryan yang
meninggalkan kehidupan normal mereka, bahkan menjual rumah mereka, untuk
kemudian pergi berkeliling dunia. Kejenuhan akan rutinitas menjadi salah satu faktor
utama yang mendorong mereka untuk berani mengambil keputusan yang tak biasa
itu. Are you dare enough to do the same,
guys?
“Perjalananku ke Thailand kali bisa dibilang sebuah misi rahasia. Nggak
ada orang yang tahu. Termasuk kedua orang tuaku. Aku ingin belajar keluar dari
zona nyamanku, melihat dunia baru, pengalaman baru, tanpa harus membuat risau
bapak ibuku”, jawabku penuh percaya diri –yang sekarang malah terasa begitu
naïf menurutku, saat mbak Dina ganti
menanyaiku.
Mbak Dina sih menanggapi dengan
senyum-senyum sambil mengangguk. Mungkin dalam hati menertawakanku. Malu
sendiri kalau mengingat waktu itu. *tutupin
muka
Mungkin aku terlalu mentah-mentah
mengartikan ‘keluar dari zona nyaman’ dengan melakukan hal yang tidak biasa
tanpa memperhitungkan risiko dari sebuah pengambilan keputusan. Jangan ditiru,
ya… Kalau traveling pada pamitan sama bapak ibunya ya… hehe
Mbak Dina sama Ryan juga pamitan sama
keluarga dan atasan di kantor kok sebelum akhirnya memutuskan untuk berkeliling
dunia. Malah karena pamitan itulah Ryan tetap dipekerjakan oleh atasannya dengan
pertimbangan Ryan dapat bekerja ‘di mana saja, kapan saja’ –selama ada jaringan
internet tentunya. Lucky Ryan!
Kalau kalian cek biodata twitter @DuaRansel pasti akan merasa tergelitik saat membacanya. Bagaimana tidak, di
situ dituliskan: ‘Dina & Ryan ga punya rumah. Hampir 5 tahun mereka selalu
berpindah. Berkelana di muka bumi hanya dengan dua ransel mereka’.
me, Ryan & mbak Dina |
Indra, Ryan & mbak Dina |
***
Begitulah pertemuan pertamaku –in person, dengan @DuaRansel si digital
nomad. Aku tahu Dua Ransel karena nggak sengaja nemu dan baca-baca artikel jalan-jalan di DuaRansel.com. Karena suka sama tulisan-tulisan perjalanannya –yang
bikin iri karena kisah perjalanan hidupnya berpindah-pindah dari belahan bumi
satu ke belahan bumi lainnya, jadi berlanjut ke follow twitternya. Eh di-folbek!
Terima kasih mbak Dina, terima kasih Ryan… it’s
great to know you, guys :)
“Eh, Happy asalnya dari
Tulungagung? Nenek moyangku juga orang Tulungagung loh”, kata mbak Dina
bersemangat begitu aku memberitahu kota asalku.
“Iyakah? Tulungagungnya daerah
mana?”, balasku ingin tahu tak kalah bersemangatnya.
“Hm… Ngunut kalau nggak salah”,
jawab mbak Dina sambil mengingat-ingat.
“Iya, Ngunut! Wah, nggak nyangka
mbak Dina masih ada ‘darah’ Tulungagung-nya hehe”, aku tersenyum lebar seolah
menemukan saudara (jauh) yang terpisah lama sebelumnya.
“Iya, bener Ngunut ya? Aku ragu
itu masuk Tulungagung atau Blitar karena aku kalau ke Ngunut seringnya malah
maen ke Blitarnya. Oh iya, aku juga suka jajan es drop Blitar. Penjualnya bapak-bapak
tua dengan sepeda onthel-nya, biasa lewat depan rumah”, cerita mbak Dina
panjang lebar.
Memang sih Ngunut itu udah Tulungagung
bagian timur. Kalau pun mau berkunjung ke Blitar nggak sampe sejam perjalanan.
Soal es drop Blitar: the exist LEGEND!
Dari ibuku kecil memang sudah jadi favorit kalau ada tukang es drop yang lewat
depan rumah, pasti beli. Dan benar, penjualnya bapak-bapak tua yang tetap
bersemangat mengayuh sepeda usangnya yang dilengkapi dua termos besar berisi batangan
es aneka rasa yang ditusuk lidi bambu sebagai pegangannya.
“Aku suka yang rasa Kacang Ijo”,
mbak Dina menyebutkan rasa es drop favoritnya, the original one.
Kalau Ryan?
“Ryan doyan sekali Pecel Lele”,
aku mbak Dina seraya tertawa. Iya, makanan Indonesia favorit Ryan, Pecel Lele
hehehe :)
wah kapan tuh da lagi kopdar sama dua ransel
BalasHapuspantengin terus timeline twitter @DuaRansel ;)
Hapusterima kasih sudah mampir...
Ah seru nya bisa ketemuan dua ransel pas lagi trip, gw beberapa kali ketemuan dijakarta aja hehehe
BalasHapusAlhamdulillah bisa punya kesempatan ketemu dan mengenal Dua Ransel :)
HapusCieee, ketemu Dina ama Ryan :D
BalasHapuseh halo mas Adie... hehehe
Hapusdokumentasi aja ini mas, biar inget terus kapan dan bagaimana pertama ketemu Dua Ransel :)
terima kasih sudah mampir...