Langsung ke konten utama

behind the scene: Penang Trip


Warning: tulisan ini mengandung unsur konyol yang semoga bisa dijadikan pelajaran

Prolog:
"Hai, perkenalkan namaku Novita", seorang perempuan -yang menurutku berumur 20-an akhir atau 30-an awal- menyapa ramah sembari mengulurkan tangannya.
"Happy", balasku menjabat tangannya dengan menyebutkan namaku.

Menurutku ini awal yang cukup baik untuk memulai perjalanan kali ini. Sapaan hangat itu aku dapatkan dari penumpang yang kebetulan satu baris tempat duduk denganku di dalam pesawat. Dia telah lebih dulu menempati kursinya dekat jendela. Aku yang datang belakangan masih berdiri di gang sempit kabin pesawat melongok ke dalam bagasi di atas tempat duduk kami. Seorang perempuan lain tampak susah payah mengatur letak travel bag-nya di sana. Saya mencoba membantu. Mungkin dari hal kecil itu, Novita menyapaku. Rupanya perempuan yang ku bantu tadi adalah teman seperjalanan Novita. Perempuan itu duduk di tengah, saya menggenapi tiga tempat duduk dalam satu baris itu dengan menempati bangku ketiga dekat dengan lorong kabin.

***

Pinang island city view



19 Mei 2012

Sekitar pukul 2 pagi Fahmi membangunkanku. "Sial, dia mencuri start!", celetukku dalam hati begitu mendapati dia sudah berdandan rapi. Aku pun melompat dari kasur dan bergegas menuju kamar mandi.

Kuraih jaket dan kukalungkan tas kecilku di bahu begitu aku menyelesaikan makan pagiku. Segelas teh hangat menutup ritual di meja makan yang menurutku terlalu awal bila disebut sebagai sarapan.

Di luar dugaan, begitu aku menyusul Fahmi memasuki mobil aku menemukan dua adik perempuan Fahmi, Fiya dan Faza, sudah duduk manis di kursi belakang. Di belakangku mama Fahmi bergabung masuk ke mobil setelah mengunci pintu rumah. Papa Fahmi malah sudah sedari tadi bersiap di belakang kemudi. Satu hal yang terlintas di pikiranku saat itu. Bahagianya Fahmi, diantar oleh kedua orang tua dan adik-adiknya menuju bandara sebagai bentuk dukungan mereka atas perjalanan yang akan ditempuhnya -perjalanan jauh lintas negara. Sementara aku? Ah, ini adalah perjalanan keduaku ke luar negeri, tanpa sepengetahuan keluargaku. Dan bahkan, aku tidak (jadi) mandi pagi itu.

***

18 Mei 2012

"Fahmi udah disiapin ranselnya? Mau bawa baju berapa?", mama Fahmi bermaksud membantu Fahmi untuk packing. Fahmi justru tertawa.
"Buat apa bawa baju banyak, ma? Kan cuma sehari", jawab Fahmi kemudian.

Malam itu aku menginap di rumah Fahmi. Kami harus mengejar pesawat kami besok pagi-pagi sekali. Pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Penang, Malaysia.

Perjalanan kali ini merupakan sebuah 'gebrakan' bagi kami. Kami nekad mengambil penerbangan Jakarta-Penang-Jakarta; pagi berangkat, malam sudah sampai di rumah lagi dengan selamat. (ke luar negeri udah berasa ke Bekasi aja, pulang pergi satu hari)

***

19 Mei 2012

Hampir pukul setengah empat pagi ketika kami sampai di terminal 3 bandara Internasional Soekarno-Hatta. Berdasarkan cerita teman-teman traveler, disarankan untuk datang lebih awal bila mengambil penerbangan Internasional di pagi hari. Hal ini untuk mengantisipasi antrian panjang mengular di imigrasi yang mengancam kita tertinggal pesawat.

Kamipun berpamitan sebelum akhirnya kami memasuki pintu keberangkatan. Kami berjalan menuju counter pembayaran airport tax yang kala itu masih berada di dekat pintu masuk keberangkatan depan counter check-in bagasi.

Jeger!
Bagai disambar petir, aku diam terpaku dalam beberapa detik begitu menyadari bahwa aku belum menyisihkan rupiahku untuk membayar pajak bandara sebesar Rp150.000,00/orang untuk penerbangan internasional. Begitu membuka dompetpun aku hanya mendapati satu lembar uang 50ribuan! Aaaaarrrgghh!

Ini adalah kebodohan kedua yang aku lakukan. Sebelumnya malah lebih parah!

18 Mei 2012

Tadi malam, seusai mengucap salam sembahyang isya', aku dilanda kepanikan luar biasa. Di mana aku menyimpan amplop berisi uang Ringgit yang kemarin susah payah kami tukarkan sampai dibela-belain ninggalin meja ujian? Ah, aku mengutuki diriku sendiri begitu teringat benda itu masih bertengger di dalam tas kuliahku.

"Kok bisa ketinggalan uangnya?", mama Fahmi menanyaiku tanpa ada tendensi menghakimi.
"Hehe, iya tante. Saya simpan di tas kuliah, sementara kalau udah selesai ujian saya sama sekali tidak menyentuh tas kuliah saya itu lagi", aku mengakui kelalaianku. Bisa-bisanya uang yang menjadi bekal perjalanan kami esok hari aku tinggalkan begitu saja? *toyor kepala sendiri*

Tas kuliahku ada di mana? Di kamar kosan! Sedangkan untuk mencapai tempat kosku membutuhkan waktu tempuh sekitar 45-60 menit perjalanan dengan sepeda motor sekali jalan. Akhirnya malam itu juga Fahmi mengantarkanku kembali ke kosan. Sekalian mau mencetak print out boarding pass hasil web check-in -ya ampun, bahkan boarding pass pun belum kami cetak! Benar-benar perencanaan perjalanan yang kacau! Haha :|

Akhirnya pembayaran air port tax-nya ditalangin Fahmi dulu. *tutup muka*

***

"Wah, namamu Happy? Pasti selalu 'happy' ya?", perempuan berjilbab di balik meja imigrasi ini mematahkan anggapanku tentang petugas imigrasi yang selalu memasang muka serius. Dia ramah sekali, bahkan menggodaku seperti itu. (GR) Aku pun tak kuasa menahan senyum lebarku yang terkembang.

"Terima kasih", ucapku ketika meninggalkan meja imigrasi. *blushing*

"Selamat berlibur", katanya sebelum aku beranjak pergi.

Selepas imigrasi kembali kami berjalan mengikuti orang banyak -prinsip yang selama ini kami pegang ketika berada di tempat baru/asing. Begitu keluar dari pintu kedatangan, kamipun akhirnya duduk menunggu bus di shelter depan pintu kedatangan itu. So here we are! Pinang island!



***

Epilog:

"Eh, umur kamu berapa sih?", Novita kembali melemparkan pertanyaannya ketika pesawat bergerak perlahan menuju landasan pacu.

"Dua puluh tahun. Kenapa memangnya?", sahutku diikuti pertanyaan lanjutan.

"Oiya? Aku kira umur kamu masih delapan belas tahun", ah, jawaban yang tak pernah kuduga. Lumayan lah terlihat lebih muda dua tahun dari umur yang sebenarnya. *senyum-senyum

Obrolan kami berlanjut waktu itu. Dari situlah saya tahu, Novita dan temannya itu berasal dari Medan dan mereka beberapa taun belakangan bekerja di Penang. Mereka terbang dari Jakarta karena memang sebelumnya mereka berlibur di ibukota.

Komentar

  1. masih ada kelanjutannya kan? tahun baru mau ke pinang nih...
    nungguin cerita city tour-nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap, insyaAllah nanti di-share ya... tapi mungkin objek yg dibahas terbatas, mengingat kunjungan kami yang cukup singkat hehe, terima kasih :)

      Hapus
  2. banyak banget nih yang bisa dipelajari... saya tunggu kelanjutannya ;)

    BalasHapus
  3. banyak banget nih yang bisa dipelajari... saya tunggu kelanjutannya ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. siaaaap,
      Alhamdulillah kalau memang ada yg bisa dipelajari, hehe
      Terima kasih ya Je sudah mampir :)

      Hapus
  4. pastikan ada sisa 150 ribu buat pajak bandara yak :D amannya si 200 rban :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip! hehe iya, emang dasarnya pelupa dan 'kelabakan' karena hal-hal yg sebelumnya sudah dipersiapkan 'hilang'

      terima kasih sarannya :D

      Hapus
  5. agak crazy ya perjalanan yang ini -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe iya, Alhamdulillah...crazy but could create any (crazy) stories ^^v

      eh, cun. mau komentar di blog Acun yg cerita ataupun foto-foto dari tour de java kemarin kok agak susah ya? emang sih akses via mobile, hehe

      ajarin fotografi ya~

      Hapus
  6. kapan ini ke Penangnya kahep? epic!
    i wish i could be as spontaneous as you

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih kamilki :)
      udah lama itu, kan udah saya tuliskan tanggal kejadiannya. hehe
      yap, somehow impulsive traveling gives us more surprises during the trip :) nice try!

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go… ...