Langsung ke konten utama

Family Trip goes to Pacitan: Alun-Alun Pacitan

Alun-Alun kota menjadi salah satu tempat yang menarik untuk dikunjungi ketika kita menyambangi kota tertentu. Selain difungsikan sebagai kawasan hijau kota, taman yang satu ini umumnya menjadi tempat rekreatif bagi para warga karena letaknya di tengah kota yang pada sejarahnya merupakan pusat kegiatan masyarakat.

courtesy of Eden's collections


Sebagaimana tipikal Alun-Alun Kota di Indonesia, di sisi barat terdapat Masjid Agung atau Masjid Jamek. Begitu halnya dengan Alun-Alun Kota Pacitan. Siang itu ketika sampai kawasan kota jam menunjukkan pukul 11.30 WIP (Waktu Indonesia bagian Pacitan) #krik. Karena Ibu yang dipercaya sebagai penunjuk jalan mendadak hilang arah, jadilah mobil diarahkan memasuki halaman Masjid Agung Alun-Alun Pacitan dengan pertimbangan waktu shalat Jumat akan dimulai.


Namanya juga Masjid Agung, tak heran bila bangunannya memang sengaja dibangun sedemikian megahnya. Kalau diperhatikan masjid tersebut mengambil tema Timur Tengah. Terlihat dari lengkungan serambinya yang bercorak belang-belang layaknya bangunan Maroko dan di sekeliling bangunan ditanami pohon kurma. Dua menara tinggi menjulang menambah keanggunan masjid yang masih dalam tahap pembaharuan bangunan tersebut.






Usai mengambil wudhu, saya melangkahkan kaki memasuki serambi masjid berlantai marmer itu. Semilir angin menghembuskan kesejukan di siang yang terik itu. Eden yang penasaran mengusulkan untuk shalat di lantai dua masjid, sayang kami tidak menemukan tangga ke sana karena ternyata dua ruangan di sisi kiri dan kanan serambi masjid yang menjadi aksesnya terkunci rapat. Adzan berkumandang seiring dengan jamaah yang terus berdatangan. Eden memberikan isyarat sembari menunjuk celah pada dinding sudut masjid. Kami pun akhirnya masuk ke dalam ruang utama masjid melalui celah tersebut. Menurut saya, desain masjid dengan celah di sudutnya seperti itulah yang menjadikan masjid ini unik!

safety first

interior dalam masjid

Begitu berada di ruang utama, saya mendongak ke atas, mengamati lingkar kubah masjid yang tinggi dan besar dengan ornamen kaligrafi yang menghias melingkar. Lengkungan tinggi pada ruang imam pun berhias kaligrafi emas, melengkapi agungnya mimbar kayu di sana. Dominasi lantai, tiang dan dinding dalam ruang yang berlapis marmer memberikan kesan adem saat berada di dalamnya.

***

Selepas shalat Jumat kami kembali ke parkiran. Ibu dan Ibunya Eden rupanya baru menuntaskan wisata kuliner singkatnya di sekitar situ sembari menunggu Bapak, Bapaknya Eden, berikut Eden dan saya menunaikan ibadah. Diceritakannya tentang Mi-So (Mie Bakso) seharga Rp8.000,00 dalam porsi jumbo yang dijual di warung kecil di sebelah utara gerbang utama masjid.

***

Malam harinya kembali menjelajah Alun-Alun. Kami makan malam di warung Nasi Pecel Madiun yang berada di sisi timur Alun-Alun. Ketika semua sudah duduk lesehan di warung, saya tertarik untuk mengikuti Eden yang ingin mencoba jajan bakso. Hanya berjarak beberapa kios dari tempat tersebut, saya dan Eden sudah asyik menyantap semangkuk bakso Granat (bakso berukuran besar berisi daging cincang) seharga Rp7.000,00/porsi ditemani jeruk hangat Rp2.000,00/gelas.

Eden's in front of Mahkota Pecel Madiun

Setelah menyelesaikan semangkuk bakso dan segelas jeruk hangat, kami kembali menghampiri warung pecel tadi. Karena dipaksa untuk makan dan tergelitik rasa penasaran, akhirnya saya memesan seporsi Nasi Pecel. Penyajiannya memang sederhana. Nasi Pecel itu dihidangkan dalam pincuk daun pisang. Soal kenikmatan, jauh dari kata sederhana, MAKNYUS! Pak Bondan bilang -atau memang saya sedang lapar ya? Kenikmatan akan bertambah bila ditambah Gebuk (irisan organ dalam Sapi) dan atau satu telur puyuh yang keduanya memang telah dihidangkan di meja-meja warung tersebut dan tak ketinggalan, kerupuk tentunya -dalam pincuk tadi sudah disertakan rempeyek kacang. Hm...nulis begini jadi lapar sendiri *glek!

***

Perut sudah terisi, saatnya mengayuh Sepeda Cinta -kalau di Tulungagung namanya Sepeda Galau. Entah kenapa dinamakan seperti ini. Mungkin karena penampakannya berupa kereta kayuh yang memuat beberapa orang dengan hiasan lampu warna-warni yang akan terlihat mencolok di malam hari. Sedari tadi memang sudah ada pengguna Sepeda Cinta yang berseliweran di sekitar jalanan Alun-Alun. Dua sepupu perempuan saya sudah tak sabar ingin turut memeriahkan jalanan dengan berkayuh Sepeda Cinta. Menurut pendapat pribadi sepupu saya itu, persewaan Sepeda Cinta lebih OKE yang berada di depan SMP 1 Pacitan sebelah selatan Alun-Alun -ya, saya mah percaya saja. semoga bukan sujektifitas semata karena itu sekolah dia. hehe



Saya duduk di belakang kemudi bersiap mengayuh. Dua sepupu saya tadi duduk di sebelah kiri saya, mengayuh pedal yang satunya. Sepeda Cinta digerakkan dengan mengayuh pedal yang ada di kiri-kanan belakang. Pedal kanan dilengkapi setir sebagai pengendali arah. Untuk mengerem tinggal memutar pedal ke arah berlawanan/belakang. Sepeda ini dapat memuat 4-5 penumpang sekaligus.

me with my cousins

Untuk seru-seruan berkeliling satu putaran Alun-Alun kita akan dikenakan biaya sewa sebesar Rp10.000,00. Tips dari sepupu saya sih jangan terpaku rute jalan utama, berkelilinglah di jalan sekitar Alun-Alun, masuk ke gang satu dan yang lain selama masih tembus Alun-Alun lagi dan belum mencapai titik balik satu putaran.

***

Capai mengayuh kami duduk istirahat sejenak di taman. Taman itu sendiri memiliki play ground, jadilah malam itu pada main ayunan. Terlihat sebuah keluarga kecil juga tengah menikmati sarana rekreatif itu. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun juga asyik berayun.




Lapar dan dahaga kembali menyergap. Tante Sri pun menggiring kami menuju tenda-tenda lesehan di sepanjang trotoar sisi timur Alun-Alun. Ibarat kota Jogja, ini bisa dikatakan semacam Angkringan ala Pacitan. Beroperasi mulai pukul 6 sore sampai jam 12 malam dan beberapa ada yang buka sampai jam 6 pagi. Pilih saja secara acak. Soalnya rata-rata memang memperjualbelikan menu yang sama. Paling khas dan wajib dicoba tentu menu Jadah Bakar dan Tahu Bakar. Jadah merupakan makanan yang dibuat dari tepung beras ketan yang diolah sedemikian rupa. Jadah tersebut dibakar di atas tungku kecil lalu dihidangkan hangat-hangat bersama gula pasir. Sementara tahu bakar disajikan bersama saus sambal kecap. Harganya sangat murah! Rp500,00/biji jadah ataupun tahu. Untuk minumannya segala bentuk wedang baik teh, kopi, jahe dan sebagainya dihargai Rp2.000,00/gelas.



Sungguh cara melewatkan malam yang mengesankan duduk bersila di atas gelaran tikar yang menutupi permukaan trotoar sambil menikmati jadah bakar juga tahu bakar ditemani hangatnya wedang jahe dengan lalu lalang kendaraan di sekitaran Alun-Alun Pacitan.

Komentar

  1. becak pake lampu/odong-odong itu nampaknya sedang menjadi tren yaa... saya juga menemukan beberapa alun-alun dengan keberadaan fasilitas tersebut. yaitu di cilacap dan yogyakarta..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe betul sekali. kebanyakan dari teman-teman melontarkan hal yang sama dan rata-rata menganggap keberadaannya itu 'nyontek' Alun-Alun Jogja.

      terlepas dari pendapat demikian, fasilitas hiburan tersebut memang cukup menyenangkan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga untuk datang berkunjung dan mencoba.

      terima kasih sudah mampir :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go… ...