Arai wa?! (Part 2) (End)
3 Maret 2012
Mata saya lekat
melihat keluar jendela. Sementara kereta api yang meluncur tak begitu kencang,
semakin membuat saya menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan -atau malah
menjadi bosan dan terjerembab lamunan? Kalau saya perhatikan suasana pemukimannya tak jauh berbeda
dengan keadaan di Indonesia. Ah, saya jadi merindukan rumah.
Angin merasuk ke
dalam ruang seiring laju kereta api. Berhembus menyapa kami dan bangku-bangku
kosong yang belum terisi penumpang, termasuk bangku di hadapan kami. Cahaya
matahari yang menembus melalui jendela sedikit menyilaukan pandangan saya.
Beberapa penumpang lain yang mengalami hal sama, menaikkan tabir penutup
jendelanya. Saya memilih untuk bertahan, karena lubang jendela inilah
satu-satunya sumber hiburan bagi saya untuk membunuh waktu dalam perjalanan
panjang menuju Thailand utara yang baru saja dimulai...
"Tiket!" suara
itu menyeruak membuyarkan lamunan saya. Indra pun memberikan kode agar saya
menyiapkan yellow card kami karena akan ada pemeriksaan tiket.
Saat petugas itu
menghampiri bangku kami, langsung saja saya sodorkan kartu kuning itu.
Diamatinya sejenak. Dia mencocokkan nomor gerbong dan bangku yang tertera di
tiket dengan tempat yang kami duduki saat ini.
"Anda seharusnya tidak duduk di sini. Coba
tengok, di tiket ini tertera gerbong nomor 7. Ini gerbong nomor 4" Kata petugas itu kemudian.
"Maaf, pak. Tapi petugas di loket tadi mengatakan
bahwa tempat duduk kami berada di gerbong 4"
Saya membela diri.
"Tsk! Coba lihat. Ini angka
7 kan? Bukan angka 4?" Petugas itu
mengangsurkan tiket kami kepada seorang ibu yang duduk di bangku sebelah kami.
Rupanya sedikit 'cek-cok' kecil ini menarik perhatiannya.
"Iya, benar. Di sini tertulisnya gerbong nomor 7.
Pindahlah ke gerbong nomor 7" Ibu itu pun mengamini argumen sang petugas tiket.
"Tapi tadi petugas di
stasiun dengan jelas menyatakan bahwa bangku kami berada di gerbong nomor
4" Saya berkeras pada keyakinan saya.
"Di sini jelas tertulis
angka 7. Bagaimana bisa Anda menyebutnya ini angka
4?" Petugas itu mengedarkan kembali kartu
kuning itu pada kami.
Setelah saya
amati memang angka yang tertulis di situ susah untuk dapat didefinisikan dengan
benar. Tulisannya merupakan hasil jiplakan karbon, pun tak begitu jelas
sebenarnya yang di tulis petugas di loket tadi angka berapa. Saya yakin itu
angka 4, namun memang goresan yang terlihat jelas dan tebal lebih mengacu pada
pembacaan angka 7.
"Sudahlah, mumpung perjalanan belum jauh,
pindahlah ke bangkumu di gerbong 7" Ibu yang
tadi kembali memperingatkan dengan lembut.
Indra terlihat
mulai bimbang. Namun saya tak mau sedikitpun beranjak dari bangku itu. Saya
tetap yakin yang saya dengar tadi itu, gerbong nomor 4, bukan nomor 7!
Tak ingin
mendebat lebih jauh, petugas tadi akhirnya melubangi tiket kami dan berlalu
meninggalkan bangku kami untuk melanjutkan tugasnya. Raut mukanya sedikit
terlihat kesal. Apalagi saya, jauh lebih sebal!
Saya sangat
menghargai perhatian dan kebaikan hati setiap orang. Terlebih niat mulia untuk
membaritahu saya petunjuk yang benar.
Saya jadi
teringat cerita dari kak Ayu, wisatawan Indonesia yang tanpa sengaja bertemu di Wat Arun kemarin. Dia bercerita saat
malam pertama dia dan kak Yayang, rekan seperjalanannya, mendarat di bandara
Suvarnabhumi hendak menuju Khao San Road. Setelah menggunakan fasilitas Airport Trans
Citilink yang berakhir di Pathumwan, dengan
menggendong ransel mereka berganti moda transportasi menggunakan bus kota arah
Khao San. Saat di dalam bus kota itulah dia sedikit berbincang dengan penumpang
lain dan diketahuilah bahwa bus yang dinaikinya salah. Beberapa bapak/ibu penumpang
di dekatnya menyarankan mereka untuk turun dan berganti dengan bus bernomor
lain. Di pemberhentian berikutnya mereka pun memutuskan untuk turun dan
menunggu bus nomor sekian yang menuju Khao San sebagaimana petunjuk tadi.
Setelah lama menunggu, bus yang ditunggu tak kunjung menampakkan tanda
kedatangannya. Sementara gelap malam semakin pekat. Kak Ayu pun akhirnya
bertanya kepada warga di sekitar. Pantas saja, ternyata nomor bus yang
diberitahukan kepadanya tadi terbalik! Huh, penantian yang sia-sia. Dan ketika sampai di daerah
Khao San, betapa bertambah jengkelnya dia mendapati bus bernomor sama dengan
bus yang pertama dinaikinya tadi melintas di hadapannya.
Yah, mungkin setiap niat baik belum tentu berakhir baik. Tapi saya sangat menghormati kesediaan orang lain yang memberikan saran dan bantuannya karena mereka tidak ingin kita tersesat. Itu berarti mereka peduli.
Akhirnya dari
diskusi kecil, Indra mengajukan diri untuk memeriksa gerbong nomor 7 dengan
nomor bangku yang sama. Bila kosong maka kami akan pindah ke sana. Sekembalinya
Indra, dikatakannya bahwa memang masih ada beberapa bangku kosong di sana,
namun dia tidak dapat menemukan nomor bangkunya -atau memang tidak ada
nomornya?
"Yasudahlah, kita bertahan saja di sini"
***
Satu masalah
berlalu, berganti masalah yang baru. Hm, sebenarnya ini bukan perkara yang
perlu dibesar-besarkan. Hanya saja membuat saya pribadi sedikit tidak nyaman.
Seorang gelandangan duduk di bangku di hadapan kami!
Ah, saya hampir
mati kehabisan oksigen karena harus menahan napas. Mungkin ini berlebihan. Tapi
dari apa yang kini ada di hadapan saya, rasanya saya ingin menutup rapat lubang
hidung saya. Indra yang duduk di sebelah saya tak bersuara sedikitpun. Sekilas
tampak dari gerak tubuhnya, jelaslah dia juga merasa sedikit terusik.
Dia seorang
wanita dengan proporsional tubuh dan rambut yang pendek. Penampakannya yang
kumal, dekil, jarang (atau mungkin tidak pernah) mandi, kotor dan jorok dengan
debu-debu di sekujur tubuhnya seakan menyatakan bahwa dia telah banyak
'bergulat' dengan kerasnya hidup. Untung saja kemeja lusuh dan celana pendek
(masih) membalut tubuhnya. Sandal buaya bolong-bolong yang sudah aus setia
menutupi jari-jari kakinya. Sebuah buntalan karung besar disandangnya. Entah
harta benda apa yang ada di dalamnya.
Semakin tidak
nyaman ketika kami mau-tidak-mau harus menyaksikan polah tingkahnya di depan
kami. Dia menaikkan sebelah kakinya ke bangku. Bagaimana perasaan Anda melihat
seorang perempuan duduk dalam posisi demikian? Tentu sangat mengganggu
pemandangan. Terlebih lagi, dengan santainya sesekali dia ngupil. Oh, Gosh...
Tak sampai di
situ. Dia sangat aktif bergerak! Tetiba dia berdiri, mengencangkan ikat
pinggang tali rafia yang menahan celananya. Sudah itu dia sibuk dengan karet gelang
di tangannya yang akhirnya dia buang beberapa pembalut pergelangan tangannya
itu.
Ketika tak ada
lagi yang bisa dilakukannya, dia hanya diam dengan air muka yang resah. Tentu
Anda tahu kenapa alasannya. Dia takut kalau-kalau suatu waktu ada petugas yang
menangkap basah dirinya dan kemudian mengusirnya. Pun demikian, itu harapan
saya! Anybody help!
Saya merasa
bahagia ketika pada akhirnya seorang petugas datang melintas dan memergoki
dirinya. Hah... Penderitaan ini akan usai, pikir saya. Namun, TIDAK! Awalnya
memang si petugas menegurnya dengan memberi peringatan ke padanya. Keduanya
sedikit bercakap dalam bahasa Thailand. Yang ada bukannya gelandangan itu
merasa bersalah dan pergi, malah cengar-cengir seolah tak mendengar apa yang
diucapkan petugas itu. Dan petugas itupun berlalu (dan masih) menyisakan
pemandangan yang menyiksa di hadapan kami.
Saya terus saja
membuang pandangan ke luar jendela. Tak tahu lagi bagaimana kabar Indra. Ke
mana dia harus mengalihkan penglihatannya. Eh, tak berapa lama kemudian
gelandangan tersebut jatuh tertidur! Melihatnya demikian menyadarkan saya bahwa
meski secara pribadi saya sedikit terganggu, tapi kan dia juga manusia sama
seperti kita. Yah, saya berusaha untuk mengikhlaskannya saja.
Silau matahari
mengusik tidurnya. Setelah sementara waktu dia terlelap, gelandangan itu
beringsut dari bangkunya, dan menghampiri bangku lain di sudut gerbong kereta.
Dia melemparkan tubuhnya di bangku yang berada tepat di depan seorang
lelaki-muda-yang-terlihat-begitu-memperhatikan-penampilannya. GOTCHA! Tahu aja dia memilih untuk
menempatkan diri duduk di hadapan pria tampan.
Saya berada di
persimpangan. Antara bersyukur karena bisa kembali menghirup udara dengan
leluasa dan kasihan melihat ketidaknyamanan yang harus dihadapi si pemuda itu.
***
Satu setengah
jam perjalanan telah berlalu. Kereta kami 'bersandar' sejenak di stasiun
Ayutthaya! Siapa yang tak kenal kota wisata penuh situs bersejarah sekitar 76
kilometer utara Bangkok ini? Harusnya pagi tadi kami mengunjungi kota ini sebelum
melanjutkan perjalanan ke Chiang Mai. Tapi apa mau dikata, keuangan yang
terbatas membuyarkan rencana perjalanan kami.
Gelandangan tadi
turun dari kereta. Kepergiannya seolah diiringi sorak sorai dan suara peluit
yang riuh rendah membahana semeriah sambutan penonton dalam satu stadion
menyaksikan tim kesebelasan yang didukungnya berhasil menjebol gawang lawan.
Stasiun
Ayutthaya terlihat ramai sore itu. Beberapa warga lokal tampak mengenakan baju
tradisional dan tengah sibuk bersiap diri untuk suatu gelaran acara. Peron
telah disulap sedemikian rupa. Jelas hal ini menggoda saya untuk turun dan
mencari tahu atau bahkan terlibat di dalam festival kecil itu. Sayang, itu hanya pengharapan
kosong belaka bagi saya yang hanya terbatasi bingkai jendela. Menyesal! Melewatkan
kunjungan ke Ayutthaya dan perhelatan acara tradisional tersebut. Saya hanya
menghela napas.
Dua orang lelaki
muda datang mengisi bangku kosong di depan kami. Mereka adalah penumpang yang
juga hendak menuju Chiang Mai. Meski keduanya baru naik dari stasiun setempat,
namun ketika ibu sebelah menanyainya tentang acara yang sedang berlangsung itu,
tak ada satupun dari mereka yang tahu. Yang saya tangkap dari percakapan ibu
sebelah dan pemuda baru itu, sepertinya acara tersebut digelar untuk penyambutan
suatu kunjungan pejabat. *terjemahan bebas dan ngaco berdasarkan
gesture
Rupanya
peninggalan sejarah masa lalu tak hanya dimiliki Ayutthaya. Ketika kereta kami
berhenti di stasiun Lopbhurri pun saya terkagum begitu selepas stasiun saya
melihat situs bangunan bersejarah yang menjulang berdiri kokoh tak jauh dari
stasiun.
Saat senja
menjelma, kembali saya dibuat tercengang usai melewati stasiun Ban Takhli saya
mendapati figur Big Buddha duduk
bersila di atas bukit! Waaaaaa semakin geregetan rasanya ingin turun dan
mengeksplorasi lebih jauh ketiga kota yang berhasil mencuri perhatian saya itu.
Saya harus ke tempat-tempat tersebut suatu saat nanti. Amin,
Tak hentinya
saya menatap ke luar jendela. Suasana alam Thailand di detik-detik sang surya
kembali ke peraduannya adalah keindahan tersendiri yang bisa saya nikmati dari
balik jendela. Perjalanan senja itu terasa menyenangkan dan sempurna! Pria muda
yang duduk di hadapan saya bahkan terlihat lebih antusias dengan sesekali
menjulurkan badannya keluar jendela.
Malam berganti.
Pemandangan di luar tak lagi berwarna. Hanya hitam, gelap, dan pekat. Angin
berhembus lebih kencang. Menebar hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang.
Hebatnya pemuda di depan saya ini masih saja bersemangat menikmati perjalanan
panjangnya dengan tetap membiarkan jendela kami terbuka lebar! Saya tak tahu
harus berkata apa. Bahasa tentu akan menjadi kendala pikir saya. Melihat Indra
yang mulai mengenakan jaketnya, saya pun turut serta. Lumayan bisa sedikit
menghalau dingin.
Sepasang bule
kakak beradik masih saja mondar-mandir di koridor sempit gerbong. See, wisatawan asing pun ada juga kan
yang naik kereta api kelas tiga. Si adik laki-laki jalan di belakang kakak
perempuannya. Entah sudah berapa kali mereka mondar-mandir dari satu gerbong ke
gerbong yang lain. Mungkin itu salah satu usaha mereka untuk menghangatkan
tubuh di tengah udara dingin yang mengiringi perjalanan ini.
Berbeda dengan gadis muda di bangku sebelah yang
saya amati sedari awal perjalanan tadi bolak-balik ke kamar kecil sibuk
membenahi make up-nya. Kalau saya
boleh ibaratkan, dia itu seperti gadis korek api di sarang penyamun (?) Dengan dandanan macam
peragawati yang siap melenggok di
atas catwalk, jelas dia tak semestinya berada di dalam kereta api kelas tiga
macam ini. Jadi terlihat salah kostum aja. But,
hey... namanya juga transportasi massa ya siapa aja boleh ikut naik kan ya?
hihi
Kembali pada
diri saya sendiri. Keadaan yang boleh dibilang tidak begitu baik. Saya harus
merundukkan badan di bawah jendela agar tidak terkena terpaan angin. Indra yang
tidak berada di dekat jendela nampak pulas saja tidurnya. Pemuda di depan saya,
tak perlu ditanya. Dia masih saja beberapa kali menjulurkan badannnya keluar
jendela sambil terlihat intim menelepon seseorang, mungkin kekasihnya. Dan,
tidakkah dia berniat menutup jendelanya? ARAI WA!?
ckckck.. arai wa!! pemuda di depanmu tangguh juga :D. Hemm... emang kebanyakan orang lokal sana bhs.inggrisnya kurang lancar atau gimana?
BalasHapusItu super loh ya ada gelandangan bisa masuk kereta kaya gitu. beberapa kali pengalamanku naik KRL sampe kereta ekonomi sampe rumah aja gak pernah liat ada gelandangan bisa naik kereta kaya yg di ceritamu, HEpi. nyambi 'ngupil' pula. iyuuuuuuuuuuuuuuuuh banget pasti -___-" hahaha... Nampaknya Indonesia jauh lebih "mendingan" ya. hihiihii.. :D
BalasHapus@fsadam hehe iya, Je.. jarang bisa menemukan orang lokal yang fasih berbahasa Inggris, tapi tourist information ada di mana-mana kok, tenang aja :)
BalasHapus@Syifa Alfiati Tochid itulah kenapa judul ceritanya "ARAI WA"
sebagaimanapun terlihat lebih hijau rumput tetangga, akan selalu membawa kedamaian bila kita mensyukuri apa yang kita miliki, meskipun rumput kita tidak kelihatan hijau. tapi saya mengagumi kedua negara, baik Indonesia ataupun Thailand tentu dengan segala hal positif & negatifnya :)
Itu gw bukan tidur dgn nyenyak...Pingsan lebih tepatnya..hahahaha
BalasHapushaha, FIX! :P
HapusKak, ini sering jalan2 ke thailand, ngambil yg paket liburan gitu?ato yg biasa?
BalasHapushoho, saya judulnya backpacking Rhyno, jadi ya jalan-jalan mandiri (baca: nggembel) tanpa menggunakan jasa paket liburan travel agent :)
Hapusnice share mr hepi.. ya apstinya dalam perjalanan ada saja certai dan pengalaman yg akan kita temui.. yg kalo di ingat" lagi lucu juga dan buat senyam senyum sendiri.. hehe..
BalasHapusmatur sembah nuwun mas Shu...
Hapushehe iya, cerita seperti itulah yang selalu berhasil membuat kangen dan akhirnya terhasud untuk traveling lagi-lagi-dan-lagi,
terima kasih sudah mampir :)