50/15
3 Maret 2012
Ini adalah salah satu perjalanan impian saya. Saya
tidak boleh menyerah pada keadaan begitu saja...
Memasuki hari keempat penjelajahan kami di Thailand
secara jujur saya katakan bahwa... kami masih ragu untuk melangkah. Ya, masalah
finansial menjadi isu utama. But, show
must go on dude... Apa yang
tengah kami hadapi merupakan pembelajaran sangat
berharga. Sebuah tantangan yang mungkin memang selalu dihadapi oleh traveler on budget macam kami ini. Yap!
Pagi itu kami
masih saja bermalas-malasan di atas kasur. Mager... (males gerak) banget! Entah karena kecapaian
atau memang tak ingin rasanya menjalani hari dan menghadapi kenyataan. Ayolah,
jangan bertindak bodoh! Seperti kata
Trinity, “worrying gets you nowhere!”
Karena dikejar
jadwal check out maksimal jam 11
siang, jadilah kami akhirnya beranjak dari kasur dan bergantian pergi mandi
juga membereskan backpack kami.
Sebelum jam 11 kami pun sudah meninggalkan penginapan.
What's next? Where to go? Just go with the flow! Tapi bolehlah kita cari pengganjal perut dulu. Kami pun berjalan
menyusuri Soi Rambuttri yang sudah mulai mendenyutkan gelora kesehariannya.
Begitu keluar gang, ketemu Chakrapong Rd. kami berbelok ke kiri. Berdasarkan guide book-nya Om Ariy sih ada masjid Chakrabongse tak jauh dari kawasan backpacker, Khao San Road, yang hanya berjarak satu blok dari mulut gang Soi Rambuttri ini. Di sekitar masjid itulah diberitahukan bahwa akan banyak kita temukan deretan warung kecil penjaja makanan halal. Kami tertarik ingin mencoba chicken rice yang seharga 35 Baht! *drooling
Begitu keluar gang, ketemu Chakrapong Rd. kami berbelok ke kiri. Berdasarkan guide book-nya Om Ariy sih ada masjid Chakrabongse tak jauh dari kawasan backpacker, Khao San Road, yang hanya berjarak satu blok dari mulut gang Soi Rambuttri ini. Di sekitar masjid itulah diberitahukan bahwa akan banyak kita temukan deretan warung kecil penjaja makanan halal. Kami tertarik ingin mencoba chicken rice yang seharga 35 Baht! *drooling
Pencarian masjid
ini pun ternyata tak semudah yang dibayangkan. Letak masjid yang 'tersembunyi'
di ujung gang kecil cukup bikin kami kesasar! Usai jalan
berapa lama tak juga kami temukan papan penunjuk Masjid Charkrabongse
sebagaimana yang tergambar dalam buku panduan. Merasa sudah kebablasan akhirnya
kami balik arah. Dan benar saja, rupanya kami telah melewatkan gang sempit yang
menjadi 'gerbang' menuju kawasan muslim dengan rumah Allah di ujung jalannya.
Plang bertuliskan masjid Chakrabongse pun juga hanya dapat terbaca dari arah
berlawanan kami berangkat -pantas saja kami tidak menemukannya tadi. Kami pun
dengan semangat segera menyusuri celah sempit di antara deretan pertokoan itu.
Tak sabar rasanya ingin segera makan! Uh, cacing di perut sudah berulah
guling-guling menuntut asupan gizi.
Kami terus
berjalan sampai pada akhirnya di sebelah kanan kami terlihat pekarangan yang
tak begitu luas. Rupanya itu adalah halaman masjid Chakrabongse. Kami pun
memasuki gerbang kecilnya dan mulai mengamati tempat peribadatan ini. Kagum! Di
ujung gang sempit di tengah kawasan padat penduduk ibukota Thailand ini kami
dapat menemukan sebuah masjid. Desain eksterior bangunannya terlihat sederhana
namun tetap memiliki pesona religi tersendiri yang didominasi warna hijau.
Sayang kami tak sempat untuk menengok
sejenak ke dalam masjid untuk melihat interiornya karena pintunya tertutup.
Kami pun hanya duduk-duduk di bangku tempat wudhu -selama saya di Thailand,
tempat wudhu di tempat peribadatan memang didesain untuk berwudhu sambil duduk,
di depan masjid sambil mengabadikan sedikit pesona masjid terdekat di kawasan
backpacker dunia di Bangkok tersebut.
Tak hentinya
saya menghamburkan pandangan ke sekeliling. Benar, ada banyak lapak-lapak kecil
penjual makanan di salah satu sisi jalan yang tak begitu lebar ini. Terlihat
beberapa perempuan, yang saya asumsikan adalah pemilik kedai-kedai yang
berjajar di sana, tengah asik memasak. Herannya kenapa kursi-kursinya masih
dalam posisi terbalik di atas meja?
Entah kenapa
suasana begitu sepi pagi itu. Kami pun meninggalkan masjid dan segera pasang
mata cari warung yang kira-kira meyakinkan tingkat kehalalannya. Ya meskipun
berada di sekitar masjid dan diinformasikan bahwa ini adalah kawasan komunitas
muslim yang berarti makanan yang dijajakan memiliki jaminan halal. Hanya saja
kami masih takut untuk berspekulasi langsung main tembak warung ini atau itu dan
tiba-tiba makan tanpa memperhatikan apakah warung tersebut memiliki logo Bulan
Bintang atau tulisan arab sebagai tanda bahwa makanan minuman yang
diperjualbelikan adalah halal! *catet
Akhirnya pilihan
kami jatuh ke sebuah tempat makan yang terintegrasi dengan rumah pemiliknya
karena memang serambi rumahnya disulap sedemikian rupa menjadi warung yang
cukup nyaman. Langkah kami semakin mantap karena Indra melihat ada tanda bulan
bintang yang cukup besar di papan menu yang terpampang di salah satu sudut
ruangannya.
Kami berdiri di
mulut pintu. Celingukan mencari si penjual. Samar-samar terdengar suara dan
begitu menajamkan ke arah sumber suara, kami dapati seorang ibu paruh baya
memberitahu kami bahwa warungnya tutup -atau mungkin belum buka.
"Sorry, we
have nothing" ucapnya lembut.
Entah, mungkin
karena lapar kemampuan berbicara pun menurun. Saya seperti orang gagu
menanggapinya, tak tahu harus berkata apa, yang keluar dari mulut hanya kata
semacam "Oh, lagi tutup ya? Tidak ada apa-apa? Oh..." Dan kami masih
saja mematung di depan pintu.
Kemudian ibu itu
dengan bahasa Inggris terbatas menawari kami menu Rotee. Ya, katanya hanya ada Rotee. Kalau mau, ibunya mau buatin sekarang. Yah, daripada ketunda lagi
makannya, akhirnya kami pun menerima tawaran itu. Oiya, berapa harganya?
"Fifty
Baht/portion" kata FIFTY yang masih menjadi penekanan dalam pendengaran
saya. Waduh, gagal lagi lah ini niat mau penghematan. Hufufufu
"Silahkan
duduk menunggu, ayo masuk saja. Saya akan buatkan Rotee-nya" Katanya
ramah, tapi dalam bahasa Thai sambil nunjuk-nunjuk kursi, jadi ya kurang lebih
begitulah apa yang ingin beliau sampaikan.
Kami duduk
menunggu. Di meja sebelah ada perempuan muda yang juga pelanggan atau mungkin
teman pemilik warung itu. Karena memang tadi keduanya duduk bercengkrama. Kami
mengamati sekeliling. Hm, cukup bersih,tertata dan nyaman. tak seperti warung
tenda/gerobak kecil yang ada di sepanjang gang sempit itu.
warung sang Ibu yang ramah |
Rotee karya sang
ibu pemilik warung telah terhidang di meja kami. Jujur, satu hal yang lagsung
terlintas di benak saya pribadi: "Oke, FIFTY Baht untuk kue seukuran ini?
Kecil. Tapi keep positive, mungkin rasanya bisa sebanding dengan apa yang harus
saya bayarkan". Tanpa pikir panjang segera saya menancapkan garpu pada
salah satu potongan kue dan melahapnya. Hap! Enak! -entah karena rasanya yang
memang luar biasa atau rasa lapar yang teramat mematikan segala rasa kecuali,
Enak!
Rotee kalau saya
deskripsikan sih, mungkin sebagian dari kita biasa mengenalnya dengan nama Roti
Maryam. Makanan khas yang digadang-gadang berasal dari kawasan Timur Tengah.
Bentuknya Bulat pipih namun berlapis-lapis tipis dengan tekstur sedikit kasar
karena pengolahan adonannya yang dibanting dan dipelintir berkali-kali sebelum
akhirnya digoreng. Dihidangkan dengan siraman susu kental manis dan taburan gula
pasir.
Tentu tak butuh waktu lama untuk menghabiskan seporsi Rotee. Selanjutnya menenggak bekal air mineral yang setia bertengger di kantong samping ransel kami untuk merehidrasi tubuh. Setelahnya, kami pun segera beranjak dari tempat duduk dan hendak membayar.
"Bagaimana? Enak kan?" (baca ala Shareefa Daanish di film Rumah Dara -loh? malah jadi horror) CUT!
re-take:
rolling, and... action!
"Bagaimana? Rotee-nya enak tidak?" suara lembutnya menegaskan keramahtamahannya.
"Aroi mak krab" (enak tenaaannn...) jawab saya yakin sembari memberikan senyum lebar kepadanya. Saya pun kemudian mengangsurkan selembar uang 100 Baht untuk membayar. Beliau pun menyambut dengan senyum lebih lebar dan kemudian menerima uang pembayaran dari saya. Kemudian kami senyum-senyum kecil sambil bergerak menjauh hendak meninggalkan warung. Namun ibu itu menahan kepergian kami.
"Loh, sebentar-sebentar. Jangan pergi dulu, ini masih ada kembaliannya" Sekiranya begitu terjemahan bebas dari bahasa dan gesture ibu pemilik warung yang kurang jelas kami tangkap. Kami pun berhenti dan bingung.
"Kembalian? Lah bukannya udah pas. Dua porsi Rotee seharga 50 Baht ya kan sama dengan 100 Baht. Kok masih bisa ada kembaliannya? Apa karena saya bilang makanannya enak jadi dapat diskon?" dalam hati saya bertanya keheranan. Ibu itu pun kembali menghampiri kami dan memberikan sejumlah uang. Tanpa memperpanjang dialog tarzan, kami pun menerimanya dan kembali berpamitan. Ibu itu juga menyampaikan doa untuk perjalanan kami, meski sekadar kata: "hati-hati ya, semoga selamat di perjalanan..." Hoho, Ibu yang baik hati... :')
Belakangan, begitu keluar gang saya hitung uang kembalian yang diberikan. Ternyata berjumlah 70 Baht! Jadi, ternyata harga Rotee tadi itu 15 Baht/porsi. FIFTEEN, NOT FIFTY! Di waktu-waktu selanjutnya pun saya perhatikan memang pengucapan fifteen seorang Thai lebih terdengar seperti fifty.
"Bagaimana? Enak kan?" (baca ala Shareefa Daanish di film Rumah Dara -loh? malah jadi horror) CUT!
re-take:
rolling, and... action!
"Bagaimana? Rotee-nya enak tidak?" suara lembutnya menegaskan keramahtamahannya.
"Aroi mak krab" (enak tenaaannn...) jawab saya yakin sembari memberikan senyum lebar kepadanya. Saya pun kemudian mengangsurkan selembar uang 100 Baht untuk membayar. Beliau pun menyambut dengan senyum lebih lebar dan kemudian menerima uang pembayaran dari saya. Kemudian kami senyum-senyum kecil sambil bergerak menjauh hendak meninggalkan warung. Namun ibu itu menahan kepergian kami.
"Loh, sebentar-sebentar. Jangan pergi dulu, ini masih ada kembaliannya" Sekiranya begitu terjemahan bebas dari bahasa dan gesture ibu pemilik warung yang kurang jelas kami tangkap. Kami pun berhenti dan bingung.
"Kembalian? Lah bukannya udah pas. Dua porsi Rotee seharga 50 Baht ya kan sama dengan 100 Baht. Kok masih bisa ada kembaliannya? Apa karena saya bilang makanannya enak jadi dapat diskon?" dalam hati saya bertanya keheranan. Ibu itu pun kembali menghampiri kami dan memberikan sejumlah uang. Tanpa memperpanjang dialog tarzan, kami pun menerimanya dan kembali berpamitan. Ibu itu juga menyampaikan doa untuk perjalanan kami, meski sekadar kata: "hati-hati ya, semoga selamat di perjalanan..." Hoho, Ibu yang baik hati... :')
Belakangan, begitu keluar gang saya hitung uang kembalian yang diberikan. Ternyata berjumlah 70 Baht! Jadi, ternyata harga Rotee tadi itu 15 Baht/porsi. FIFTEEN, NOT FIFTY! Di waktu-waktu selanjutnya pun saya perhatikan memang pengucapan fifteen seorang Thai lebih terdengar seperti fifty.
***
WOW!!!!Cool blogpost! Sekali2 ajak saya ke thailand dong-_-
BalasHapusterima kasih sudah datang berkunjung,
BalasHapusah kemarin kita sudah bahas bukan? hehe
ceritanya sederhana, tapi penyampaiannya sangat bagus, yg baca bisa senyum 2 sendiri, ditunggu posting yg lain ya.
BalasHapusHallo anonymous...
Hapusterima kasih... semoga bisa menghibur ya,
sip-sip, ditunggu yah postingan selanjutnya :D