Langsung ke konten utama

Backpacking Thailand: when culture and modernization coexist in harmony

2 Maret 2012
Part 2: ...and the show must go on!


Ini adalah salah satu perjalanan impian, janganlah keterbatasan ini menghentikan kaki melangkah. Saya terus mencoba menyemangati diri sendiri. Ah, sudahlah biarkan semua mengalir adanya. Justru inilah seni dan tantangan yang harusnya dinikmati dan akan menjadi cerita nanti.



Sisa bekal perjalanan Phuket-Bangkok menjadi pengganjal perut untuk sarapan kami -hemat, beb! Sepagian kami menghabiskan waktu untuk tiduran mengistirahatkan badan sembari menikmati tayangan televisi. Hari beranjak siang, sementara Indra pergi mandi, saya masih rebahan di kasur sambil terperanjat memandang layar kaca yang memvisualisasikan sosok Raja Bhumibol Adulyadej sebagai figur pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Meskipun sang narator membawakannya dalam bahasa Thai, namun dari apa yang saya lihat jelaslah tergambar betapa besar kecintaan masyarakat Thailand terhadap rajanya. Tanpa sadar, saya pun turut melambaikan tangan kepada Sang Raja #awkwardmoment



Sekembalinya Indra dari kamar mandi segeralah saya mengalungkan handuk dan menenteng alat mandi untuk bersih diri. Saya menuruni tangga menuju kamar mandi 'berbagi'. Menikmati pancaran air shower menjadikan badan lebih segar dan lunturlah rasa lelah hati, jiwa, dan perasaan atas kegalauan finansial yang mendera. Backpacker nggak boleh nyerah sama keadaan, maju terus sampai titik darah penghabisan! #berapiapi

Menjelang tengah hari kami telah berdandan rapi. Bukan mau ke kondangan, tapi hari ini kami merencanakan tour de temple! Kami bermaksud mengunjungi wat/temple yang menjadi ikon kota Bangkok di antaranya seperti: Grand Palace, Wat Po, sampai Wat Arun 'The Temple of Dawn'. Nah, karena tempat tersebut merupakan sarana peribadatan, jadilah kami tidak bisa sembarangan memakai baju. Setidaknya gunakan pakaian yang sopan, semisal memakai celana panjang untuk pria atau pakaian yang lebih tertutup bagi wanita. Sebenarnya tidak masalah bila Anda berpakaian casual dan terbuka karena Anda dapat menyewa kain penutup di lokasi tersebut.

Usai menunaikan Dzuhur kami begitu semangatnya menapakkan kaki di bawah teriknya matahari. Keluar dari soi Rambuttri kami menyusuri Khao San Road bersambung ke Ratchadamnoen Klang Road yang berujung pada Democracy Monument, tugu peringatan Revolusi 1932 yang berdiri kokoh sejak tahun 1939 di tengah persimpangan jalan utama.

Democracy Monument

Indra and me


Tak jauh dari persimpangan jalan itu, kami berjalan di sepanjang Dinso Road hingga kembali bertemu persimpangan jalan dengan sebuah tiang ayunan raksasa yang menjulang tinggi di tengahnya. Giant Swing, sebuah ayunan raksasa yang dulunya dipergunakan untuk media perayaan Swing Ceremony di mana orang akan berayun untuk mendapatkan sekantong koin berharga yang diletakkan di salah satu tiang pancangnya. Namun karena mencatatkan kecelakaan fatal, upacara perayaan itu pun diberhentikan sehingga keberadaannya hanya sebagai salah satu tourist's attraction kota Bangkok saja.

The Giant Swing

Wat Suthat's behind me

History of Wat Suthat

Di seberang jalan terdapat salah satu tempat peribadatan tertua di Bangkok, Wat Suthat. Sebenarnya menarik juga untuk dikunjungi, hanya saja kami tidak mengagendakan kunjungan ke tempat tersebut mengingat terbatasnya waktu. Kami pun bergegas menuju Grand Palace sebelum hari beranjak sore. Dari persimpangan Giant Swing, kami mengambil arah Bamrung Muang Road. Setelah berjalan sampai mentok, saya mulai bingung. Grand Palace sudah di depan mata, tapi mana pintu masuknyaaaaa. Jangan sampai dibohongi sama sopir tuktuk yang mengatakan Grand Palace tutup lalu akan menawari kita tour keliling kota dengan bayaran murah yang sebenarnya adalah jebakan betmen (?) Ya, begitulah informasi yang saya dapat dari berbagai sumber. Daripada saya mengalaminya, dengan tetap memasang raut muka stay cool -yang terkesan dipaksakan, saya celingukan ke kiri dan kanan. Nihil. Udah nggak bisa stay cool lagi, udah mulai panik ada om-om yang datang menghampiri. Doh!

"...wat Saket?" -entah apa yang dikatakannya, yang jelas tertangkap di telinga adalah Wat Saket. #lost-in-translation
"Poot Thai mai dai, krab" Biasalah jurus pamungkas harus dikeluarkan di saat-saat seperti ini.
Yah, pokoknya sih bapak itu memberitahukan bahwa kami disarankan untuk mengambil arah kanan menyusuri dinding pagar istana lalu belok kiri dan kiri lagi, pintu masuknya ada di sana.
"Awalnya saya mengira kamu orang lokal, You look so Thai..." tambahnya.
Kyaaaaa...Serasa terbang ke angkasa ditemani sama paus iklan Good Day! ah pokoknya seneng akhirnya dikatain mirip orang lokal! Penyamaran berhasil (?)

Penampakan dari depan gedung kantor Pertahanan Nasional di seberang dinding pagar istana

Salah satu sisi gedung Pertahanan Nasional bergaya eropa klasik diambil dari Bamrung Muang Road


Dinding pagar istana Grand Palace. Mana pintu masuknya?

Wat kecil di sisi kanan depan kantor Pertahanan Nasional

Monumen Gajah 'Pink' di persimpangan jalan depan kantor Pertahanan Nasional
Tanpa buang waktu lagi kami melanjutkan perjalanan sebagaimana petunjuk dari bapaknya tadi setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Wah... lumayan lah kami udah seperti mengelilingi separuh lingkar luar istana sebelum akhirnya sampai di sebuah gerbang dengan beberapa penjaga di sisi kanan kirinya. Lalu kami pun mengikuti arus manusia yang meluber begitu melewati pintu masuk istana yang tak begitu besar itu.

Dari main gate tersebut kita akan memasuki sebuah pelataran yang disebut sebagai outer court. Lurus aja terus belok kiri, atau ikuti saja orang banyak dan temukan loket penjual tiket masuk di sana. Untuk menikmati keindahan tempat tinggal raja ini kita harus merogoh kocek lebih dalam, 400 Baht adalah harga yang boleh dibilang cukup mahal. But it's worth it! Kecantikan bangunan-bangunan dalam lingkungan Grand Palace ini akan membuat Anda lupa besarnya uang yang telah dibayarkan ;)

Outer Court

Pelataran selepas main gate


Indra mengantri di loket. Sekembalinya, Indra menyodorkan TIGA tiket untuk saya. Satu tiket masuk kompleks Grand Palace yang di lembar sisi lainnya merupakan tiket masuk Vimanmek Mansion Museum, Support Museum Abhisek Dusit Throne Hall, serta Sanam Chandra Palace (yang berada di tempat terpisah kawasan Dusit) juga sebuah tiket The Pavilion of Regalia, Royal Decrations and Coins (ada di middle court Grand Palace, tapi saya melewatkannya karena tidak tahu, huf!). Jangan khawatir, tiket Dusit Palace-nya masih berlaku sampai beberapa hari dari tanggal pembelian kok. Jadi kalau Anda butuh waktu sehari penuh untuk exploring Grand Palace, besoknya masih bisa mengunjungi Dusit Palace dengan tiket yang disertakan tadi.

Off the record: sebetulnya dengan modal 'penampakan' kita yang masih serumpun bisa sih 'menyelinap' masuk secara gratis dengan mengaku-ngaku sebagai orang Thai, tapi kan Tuhan Maha Melihat ya... hehe #kalem

ticket of Grand Palace

ticket of Dusit Palace


Dengan memegang tiket di tangan kami bergerak menuju pemeriksaan tiket yang sudah mengekor panjang antriannya. Di sini kita juga akan dibagi booklet berisi panduan wisata Grand Palace. Hanya saja, karena menggunakan bahasa Inggris, jadinya saya simpan saja di tas, hehe lagi malas mikir ah, maunya menikmati Grand Palace seutuhnya~ #ngeles Indra nampaknya sedang beruntung! Dia mendapatkan booklet 'spesial' yang ditulis dalam aksara China-mandarin! #ciyeee chinese... -padahal itu karena dia mengekor di antrian rombongan wisatawan China di depan kami :P

Guide booklet of Grand Palace


Setelah melewati pintu pemeriksaan tiket, tiada kata yang dapat menggambarkan keindahannya. #tsaaahh Untuk selanjutnya, biarkan foto-foto berikut yang menceritakan semuanya...

Yaksha

Pemandangan setelah pintu masuk pemeriksaan tiket

Phra Sri Rathana Chedi



Phra Mondop tampak depan
Phra Mondop tampak samping


mini shrine

detail ornamen dari kaca

detail tempelan logam Phra Sri Rathana Chedi




Replika Angkor Wat Kamboja







Ancient wall painting


Sedang asyik-asyiknya bergaya di Phra Sri Rathana Chedi, terik matahari yang menyengat nyaris menumbangkan saya. Sesaat pandangan saya gelap. Segera saya berlari menuju tempat yang lebih teduh dan menenggak sisa air mineral yang saya punya. Kami memang sengaja tidak membawa bekal apapun -antara penghematan dan nggak modal haha. Adapun sisa air mineral yang kami miliki memang sengaja menjadi modal perjalanan kita hari ini dengan pertimbangan kita dapat mengisi ulang botol minum kita dari mesin air gratis yang ada di Grand Palace -padahal botol air kami telah kering, namun tak kunjung menemukan mesin tersebut. Setelah kembali menghimpun tenaga, kembali kami berkeliling sambil mengabadikan pesona bangunan-bangunan berdaya tarik magis dengan ukiran dan ornamen unik yang membuat siapapun yang melihatnya akan berdecak kagum.

Sampai akhirnya kami menemukan 'harta karun' yang kami cari. Mesin air! Kyaaaaa dengan muka berbinar segera kami menghampiri mesin itu, menengadahkan mulut botol minum kami, menekan tombol 'sumber penghidupan' dan mengalirlah air dingin segar ke dalam botol kami. Begitu botol penuh, kami segera menenggak air sebagai penghalau dahaga dan kemudian mengisi botol kami kembali sampai penuh lagi. Layaknya musafir menemukan oase di tengah padang pasir :')

Mesin air isi ulang
Tenaga serasa pulih kembali. Kami melanjutkan kunjungan ke Wat Phra Kaew untuk menyaksikan secara langsung The Emerald Buddha, sebuah patung Buddha terbuat dari zamrud hijau (emerald) -padahal sebenarnya Emerald Buddha itu sendiri hanyalah patung Jadeite berwarna hijau dengan pakaian terbuat dari emas yang setahun tiga kali diadakan upacara penggantian pakaian oleh Raja Thailand sesuai pergantian musim- yang konon katanya merupakan patung Buddha paling suci seantero Thailand.

masuk ke dalam ruang Emerald Buddha Wat Phra Kaew

The Emerald Buddha

gambar diambil dari luar jendela yang menghadap langsung Emerald Buddha


Masuk ke dalam Wat Phra Kaew, kita harus melepaskan alas kaki dan topi sebagai bentuk penghormatan kepada tempat peribadatan yang suci. Kita juga tidak diperkenankan mengambil gambar dengan kamera selama di dalam ruang di mana Emerald Buddha berada.

Ada yang menarik di serambi Wat Phra Kaew ini. Banyak wisatawan asing yang turut serta melakukan ritual mencelupkan kuncup bunga teratai ke dalam sebuah cawan besar berisi air suci lalu kemudian memercikkan air yang terserap kuncup bunga itu ke kepala mereka.



Beralih ke kawasan middle court, you're just like in Europe! Chakri Maha Prasat adalah salah satu bangunan unggulan Grand Palace dengan arsitekturnya yang bergaya Eropa dengan sedikit mixing sentuhan ornamen ala Thailand. Di beberapa sudutnya Anda akan menjumpai Royal Guard yang ngotot banget nggak mau senyum apalagi tertawa karena fokus bersiaga (baca: berdiri mematung) menjaga bangunan ini -padahal hampir setiap wisatawan berebutan foto bareng si penjaga ini, tapi nggak sedikitpun dia bergerak atau berekspresi. Salut! Anda diberikan kesempatan untuk mampir sebentar melihat koleksi senjata kuno dan seni di salah satu ruang tak begitu luas bagian dari bangunan tersebut yang memang terbuka bagi semua wisatawan. Sayangnya, lagi-lagi kita tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar. Meninggalkan Chakri Maha Prasat, Anda dapat menikmati keunikan bangunan lain di sekitarnya yang tak kalah unik.

Chakri Maha Prasat


Chakri Maha Prasat tampak depan


Royal Guard






Europe? No, it's Thailand!


 
Rasanya tak akan pernah cukup merangkai kata untuk menceritakan keseruan yang saya secara pribadi rasakan selama mengunjungi Grand Palace. Sangat mengagumkan! Meskipun di beberapa bagiannya under maintenance, namun tak mengurangi excitement saya untuk menikmati keindahannya :)

Dan ketika kami menyadari hari telah beranjak sore sementara kami masih harus mengunjungi dua wat/temple lagi, maka kami pun mempercepat langkah kaki kami untuk menuntaskan penjelajahan di Grand Palace ini. What's next? see you on Part 3...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go…