Langsung ke konten utama

Backpacking "MALANG" part 4 (1)


Day 5
Unbreakable

Selasa, 16 Agustus 2011

Hari ini Bapak saya ulang tahun. Lewat pesan singkat saya kirim ucapan dan doa untuk Bapak. Tapi dari SMS balesan yang saya dapat, justru Bapak lebih banyak mendoakan bermacam hal untuk saya. Terima kasih Bapak :)

back to topic

Hari ini kami berencana untuk berwisata alam. Kalau di Malang kota sendiri sih susah lah menemukan objek wisata alam. Mau nggak mau yang terdekat ya harus meluncur ke kota Batu. How do we go there?

Ardha siap untuk mengantarkan kami :)

Bonceng tiga?

Nope!

Sehari sebelumnya saya sudah mengabari Sadam bahwa hari itu saya akan mengambil alih kendali atas matic hitam kesayangannya. Bukan dibeli, dipinjam aja selama jam kerja. Oiy, Sadam kala itu tengah sibuk menjalani Praktek Kerja Lapangan di Kantor Bea Cukai Malang. Daripada motornya nganggur di parkiran aja, mending saya bawa buat modal keliling kota. Hehe

Jadilah pagi itu rela (memaksa) bangun pagi terus mandi di bawah dinginnya guyuran air kota Malang (Bohong! saya kan mandinya belakangan). Iya deh saya ngaku, saya cuma cuci muka waktu itu, karena udah dikejar waktu, hampir mendekati jam janjian untuk ketemu.

Setelah berdandan ala kadarnya saya bergegas meninggalkan penginapan, berlari menembus bulir-bulir embun terbawa udara pagi itu, menyusuri jalanan kota Malang yang masih nampak lengang. Ya, karena masih belum tahu angkot dari kawasan Alun-Alun ke daerah sekitaran Universitas Negeri Malang, jadilah saya (lagi-lagi) harus jalan kaki (tapi waktu itu berlari karena dikejar waktu) ke daerah Balai Kota dan menunggu angkot di sana. Tak berapa lama menunggu tibalah yang ditunggu-tunggu. Mobil angkutan warna biru muda itu pun meluncur bak Raja Jalanan.

Tibalah saya di depan kantor Bea Cukai Malang. Namun Sadam belum sampai rupanya. Saya pun menunggu di bawah pohon pinggir jalan di depan kantor tersebut. Satu per satu anak-anak yang PKL nampak berdatangan memasuki halaman kantor BC ini. Waktu juga kian mendekati sudut 07.30. Sedikit gusar jadinya menanti seperti ini.

Selang beberapa menit kemudian, di kejauhan tampaklah wajah yang tak asing lagi senyum-senyum ke arah saya. Haha Sadaaaam... Finally, you made it! Tanpa banyak ba-bi-bu langsung saja saya mengambil alih si hitam. Tak lupa juga Sadam menyerahkan STNK dan 2 helm, punya dia dan teman yang diboncengnya, kepada saya. Saya pun berpamitan dan segera menghilang di keramaian lalu lintas pagi itu.

Sekembalinya ke penginapan saya segera mandi. Danto dan Fahmi nampaknya udah siap. Tapi, Ardha sampai jam segini belum juga bisa dihubungi. Fahmi meyakini kalau Ardha pasti masih tidur. Hehe maaf ya Ardha bikin Ardha capek anter jemput dan bantuin kami kemaren. Tapi Ardha, hari ini Ardha masih belum bisa lepas dinas loh. Kan udah janji... ^^v

Akhirnya Ardha berhasil dihubungi. Ardha pun datang menghampiri kami di penginapan. Kami memutuskan untuk check out dan menitipkan backpack kami sementara di rumah Ardha. Ardha pun memimpin touring kami hari ini. Ardha jalan duluan di depan boncengin Fahmi sedang saya mengekor di belakanganya boncengin Danto.

First Destination: Air Terjun Coban Rondho, Pujon

Sejarah singkat:
"Berawal dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungakan pernikahan, Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut selapan(bahasa jawa) Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, meskipun orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka yang masih sumur jagung. Namun kedua mempelai tersebut berkeras untuk pergi dengan resiko apapun yang terjadi di perjalanan.

Di tengah perjalanan keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono,yang terpikat dengan kecantikan  Dewi Anjarwati dan  berusaha merebutnya. Perkelahian antara Joko Lelono dan Raden Baron Kusumo pun tidak terhindarkan. Raden Baron Kusumo berpesan kepada para pembantunya (punokawan) agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di coban (air terjun). Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dan  Joko Lelono berlangsung sengit dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo.Sejak saat itulah coban atau air terjun tempatnya bersembunyi dikenal dengan COBAN RONDHO. Konon batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasib."



Coban Rondho adalah objek wisata alamberupa air terjun dengan ketinggian sekitar 60 meter yang terletak kurang lebih 12km dari kota Batu, tepatnya di Desa Pandansari Kecamatan Pujon. Akses ke lokasi ini pun cukup mudah. Meskipun berada di tengah-tengah daerah pegunungan dengan jalan berliku dan menanjak namun jangan khawatir, jalannya sudah beraspal kok jadi bisa dilewati dengan nyaman. Terlebih di kanan kiri jalan yang diselimuti rerimbunan pohon dengan kicau burung yang menambah semarak perjalan Anda. Cukup dengan 8000 rupiah untuk HTM-nya plus 2000 untuk parkir kendaraan (sepeda motor) adalah harga yang cukup terjangkau untuk menimati keindahan alam serta kesejukan yang ada di kawasan Coban Rondho ini. Coban Rondho sendiri nggak hanya ada air terjunnya loh! Tapi ada juga beberapa wahana wisata lain tersedia di kompleks wisata alam ini seperti flying fox, area outbond, taman bermain anak, Griya Wana, Area Satwa, kebun Organik serta sering digunakan sebagai bumi perkemahan.




Kesejukan udara kota Batu sebenarnya sudah dapat kami rasakan ketika memasuki daerah Payung. Hutan Pinus di sepanjang perjalanan meneduhi perjalanan kami. Saya yang berada di belakang kemudi mulai merasa kedinginan bahkan sampai gigi bergetar saling beradu. Nggak kebayang deh Fahmi yang pakai celana pendek. Pasti jauh lebih menjiwai rasa dingin itu sendiri. Haha

Sesampainya di lingkungan air terjun, kami memarkir motor dan berjalan menyusuri jalanan setapak sepanjang kurang lebih 200 meter dengan taman di sekelilingnya yang berujung di altar air terjun. Fahmi pun mulai mengutarakan isi hati terdalamnya.

"Tahu dingin gini, nggak bakal pake celana pendek deh"

Kami hanya bisa tersenyum nyinyir.

Kebetulan hari itu masih pagi, jadi pengunjung belum begitu ramai (atau memang lagi sepi?). Tapi tak mengapa, justru kami senang bisa menikmatinya tanpa kegaduhan pengunjung lain. Setelah puas menikmati keindahan dan kesejukan di sekitaran lokasi air terjun kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke objek wisata lain. Ketika sudah di parkiran motor dan hendak menghidupkan mesin sepeda motor, kami menunda niat kami untuk melanjutkan perjalanan. Si Hitam ngambek. Antara susah, takut, khawatir dan nggak tahu mesti gimana saya hanya bisa terduduk lemas meratapi nasib. Coba bayangkan di sekeliling hutan belantara di tengah daerah pegunungan, mesin motor ngadat begini sedang saya sama sekali nggak tahu menahu soal mesin. Hanya Tuhan yang bisa menolong...

Sambil berusaha menenangkan diri saya coba mengirim pesan singkat ke Sadam bagaimana untuk membujuk si hitam supaya mau jalan lagi. Mengingat di hari pertama di Malang saat mau janjian ketemu Sadam mengalami masalah serupa namun bisa teratasi.

"Diamkan selama sepuluh menit, lalu coba hidupkan kembali mesin motornya" begitu pesan Sadam.

Saya pun mulai menghitung mundur 10 menit dari sekarang.

Sembari mengisi waktu kami berempat mengobrol ala kadarnya sambil sesekali mengamati monyet yang berlarian, bergelantungan, kegenitan ke sana ke mari. Sorry bray, kita kagak tertarik!
Di hutan sekitaran lokasi air terjun ini memang banyak dihuni oleh sekawanan monyet. Jadi tak heran bila banyak monyet berkeliaran mencari perhatian pengunjung.

10 menit berlalu...

Dengan hati bimbang ragu tak menentu, saya dekati si hitam. Oh, please...be nice to me. Saya pun mulai menghidupkan mesin dengan mengucap Basmalah dan tarik gasnya!

"Brum..brum..bruuummm..."

Seperti semangat para penonton bola ketika tim yang didukungnya berhasil menjebol gawang lawan, mata saya berkaca-kaca tak percaya ini semua terjadi. Syukur Alhamdulillah, yah... (sumpah ini kenapa jadi lebay gini sih?)

Langsung sajalah kami tancap gas menuju perhentian selanjutnya.

Second Destination: Alun-Alun Kota Batu

Karena pada timeline Facebook sering bermunculan foto-foto yang diambil di lokasi ini, akhirnya kami memutuskan untuk turut serta memeriahkan parade 4L4y dengan mengambil beberapa foto di taman kota yang full color ini. Konsep taman ceria yang diusung oleh Pemda setempat emang cocok lah sebagai tempat penghalau galau, sindrom pemuda masa kini.

no more galau
sebagian landmark kota Batu yang bisa dilihat dari Bianglala yang berputar
Di taman ini selain ada tanaman berwarna warni yang menghiasi, ada juga semacam lampion beraneka bentuk seperti boneka sapi, kelinci, dan lain sebagainya. Ada juga hiburan air muncrat yang dalam waktu tertentu akan tersembur dari dalam tanah. Paling nggak boleh dilewatkan adalah bianglala! Meskipun nggak sebesar bianglala Dufan, tapi cukup seru loh untuk mengamati kota batu dari atas.

Hm, sebenarnya yang pantas dikenal sebagai kota Apel itu ya kota Batu ini. karena memang perkebunan apel tumbuh subur di kota ini dan bisa jadi apel juga merupakan sumber komoditas utama perdagangan Apel di negeri ini. Tak heran di sekitaran taman kota ini dibuat Apple Artificial dalam ukuran besar baik berupa patung batu ataupun lampion penghias taman.

Karena sudah memasuki waktu Dzuhur, kami pun menyempatkan diri mengunjungi Masjid Agung kota Batu yang tepat berada di seberang taman kota ini.

Kisah hari ini akan berlajut ke bagian (2) Nantikan konflik kecil yang terjadi ;)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gara-Gara (Larangan) Tripod (Masuk Kabin Pesawat)

Namanya juga impulsif dan spontan, pasti ada aja ‘kejutan-kejutan’ sepanjang perjalanan. Anggaplah ini sebagai side stories atau cerita di balik layar #mendadakrinjani di postingan sebelumnya . Jadi, gue bakal ngulik hal-hal yang nggak seindah yang terlihat dalam pendakian Gunung Rinjani. Razia di bandara | dok. pribadi Perasaan gue campur aduk, excited tapi sekaligus juga deg-degan. Padahal gue udah duduk di ruang tunggu Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Padang, menantikan penerbangan menuju Lombok bersama kawan-kawan. Kami bermaksud untuk mendaki Gunung Rinjani, dalam kesepakatan dan berkeputusan yang serba dadakan. Banyak yang bilang kalau bikin acara dadakan kemungkinan realisasinya lebih besar dibandingkan acara yang direncanakan jauh-jauh hari. Gue pun lebih sering melakukan perjalanan yang nggak terlalu terikat perencanaan atau persiapan matang. Tapi kan ini naik gunung. Butuh persiapan lebih –setidaknya bagi gue pribadi. Mulai dari nyiapin peralatan,...

Seperti Bintang: Ada, Meski Tak (Selalu) Terlihat

“ Aku menikah tahun depan. ” Bagaimana perasaanmu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut sahabatmu? Aku tersenyum dan membelalakkan mata. Bagiku, ini adalah salah satu berita yang menggembirakan. Meski sebenarnya bukan hal yang mengejutkan karena aku pun telah lama menantikannya. Dalam hati ingin ku teriakkan ‘AKHIRNYAAA’, tapi aku tahu suaranya bergetar saat mengungkapkan hal itu. Ku tahan euforia di dada, ku pasang telinga bersiap untuk mendengarkan apa yang mungkin menjadi kegusarannya. “Aku mau puas-puasin jalan-jalan dulu. Mungkin ini tahun terakhirku”, katanya melanjutkan. Raut mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah menikah menjadi akhir karirnya jalan-jalan. # Perkenalkan, Sadam Febriansyah, sahabatku. Kami saling mengenal sejak taman kanak-kanak dan tinggal di satu lingkungan yang sama. Pertemanan kami semakin dekat ketika kami masuk ke sekolah dasar. Satu sama lain cukup kompetitif memperebutkan juara kelas, tetapi aku yang menang kami bersain...

Bro (Travel)Mate

Salah satu ‘ partner in crime ’ ku telah memulai fase kehidupan baru: Menikah. Ku turut bahagia dan ingin memberikan sebuah ‘kado kecil’ ini untuknya. Sekilas cerita kami dalam banyak kesempatan melakukan perjalanan bersama. Awalnya aku join kompetisi menulis cerita bertema travelmates pada tahun 2014. Dua puluh naskah terpilih akan dibukukan. Aku senang sekali ketika menerima email dari penyelenggaranya bahwa ceritaku terpilih. Belum berkesempatan punya buku sendiri, setidaknya ini bisa menjadi salah satu cara agar karyaku bisa dinikmati lebih banyak orang. Apalagi kalau teman seperjalananku juga membacanya. Dia yang menjadi objek cerita, ku harap bisa menjadi sebuah persembahan untuknya. Karena satu dan lain hal, buku kumpulan cerita itu belum menemukan takdir penerbitannya. Jadi, cerita ini belum sempat dibacanya. Ku ingin (sekali lagi) mencoba untuk menyampaikan ini padanya. Jadilah ku sunting naskahnya dan ku unggah di laman blog pribadiku ini. Here we go… ...